Rabu, 22 Oktober 2014

Bolehkah Lelaki Memakai Tindik Anting-anting?

Pertanyaan :
Assalamu’alaikum ustadz,
Bagaimana hukumnya seorang pria yg ditindik? Apakah pria ini boleh mengimami sholat?
Syukron ustadz atas jawabannya
Jawaban:
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai tindik bagi wanita. Hanafiyah dan mayoritas ulama Hambali membolehkan wanita memakai tindik. Sementara Syafiiyah dan Ibnul Jauzi berpendapat, bahwa tindik hukumnya terlarang. Mereka beralasan, membuat tindik itu menyakitkan dan alasan menghias diri di telinga bukanlah hal darurat dan tidak terlalu penting, sehingga dibolehkan menyakiti telinga wanita untuk diberi hiasan anting.
Dan yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat jumhur ulama – Hanafiyah dan Hambali – bahwa tindik hukumnya boleh, anting telinga termasuk perhiasan yang sudah banyak dikenal oleh para sahabat wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ، فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ، فَجَعَلْنَ يُلْقِينَ تُلْقِي المَرْأَةُ خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat idul fitri dua rakaat, tanpa shalat sunah qabliyah dan bakdiyah. Ketika berkhutbah, beliau mendekat ke jamaah wanita bersama Bilal. Beliau memerintahkan para wanita untuk bersedekah. Merekapun melemparkan sedekahnya, dan ada wanita yang melemparkan anting dan kalungnya. (HR. Ahmad 2533, Bukhari 964 & Abu Daud 1159).
Berdasarkan hadis ini, ulama Hanafiyah dan Hambali membolehkan wanita memakai tindik karena kebutuhan mereka untuk berhias dengan anting.
Kedua, setelah kita memahami bahwa wanita boleh memakai anting karena kebutuhan berhias, ini menunjukkan bahwa bertindik merupakan ciri khas wanita. Dan sesuatu yang menjadi ciri khas wanita, tidak boleh ditiru oleh lelaki.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kebiasaan wanita dan para wanita yang meniru-niru kebiasaan lelaki.” (HR. Bukhari 5885)
Atas dasar inilah, para ulama mengharamkan tindik bagi lelaki.
Imam Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya mengatakan,
ثقب الأذن لتعليق القرط مِن زِينَةِ النساء, فلا يحل للذكور
”Melubangi telinga untuk dipasangi anting termasuk perhiasan wanita, karena itu tidak halal bagi lelaki.” (Raddul Muhtar, 27/81).
Imam Ibnul Qoyim juga mengatakan,
وأما ثقب الصبي فلا مصلحة له فيه وهو قطع عضو من أعضائه لا مصلحة دينية ولا دنيوية فلا يجوز
”Menindik bayi laki-laki tidak ada manfaatnya, padahal ini memotong sebagian anggota badannya, tidak ada manfaat sisi agama, maupun dunia. Karena itu, tidak diperbolehkan.” (Tuhfah al-Maudud, hlm. 210).
Ketiga, Seperti yang kita tahu, tradisi lelaki bertindik datang dari barat. Bagian dari budaya hedonis yang diadopsi sebagian remaja di tanah air. Karena itu, di masyarakat kita, tindik bagi lelaki, dipandang sebagai ciri khas manusia ’golongan kiri’. Kami pernah mendapat aduhan, ada seorang gadis yang dilamar oleh lelaki bertindik, dan spontan orang tuanya melarangnya. Karena mereka memandang lelaki bertindik, umumnya bukan orang baik-baik.
Tentu saja penilaian sang bapak, tetap kita hargai. Karena penilaian ini berdasarkan ciri lahiriyah dan bukan batin. Sang bapak tidak menebak batinnya, namun dia menilai berdasarkan lahirnya.
Kaitannya dengan ini, kita tidak diperbolahkan meniru kebiasaan suatu kelompok yang dicatat ’tidak baik’ oleh masyarakat. Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad 5114, Abu Daud 4031, dan dishahihkan al-Albani).
Jika seorang lelaki tidak ingin dianggap sebagai bagian orang ’golongan kiri’, hindari memakai tindik.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Apakah Dosa Zina bisa Terhapus dengan Menikah?

 

Tanya:
Saya ingin bertanya suami dan istri telah sah menjadi pasangan melalui nikah, tetapi seblum mereka menikah mereka melakukan hubungan khusus pacaran atau bahkan berzina selama beberapa tahun.
Apakah mereka tetap mendapatkan dosa mereka waktu sebelum menikah atau dosa mereka terhapus dengan mereka melakukan pernikahan? Syukron.
Jawab
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Zina termasuk salah dosa besar dalam islam. Karena itu, dosa zina mendapatkan hukuman khusus di dunia. Cambuk 100 kali bagi pezina yang belum menikah (ghairu Muhshon), dan rajam bagi pezina Muhshon (yang sudah menikah).
Lebih dari itu, setiap orang yang melakukan perbuatan dosa, dia diwajibkan untuk bertaubat. Dan cara yang diajarkan oleh islam untuk menghapus dosa besar adalah dengan bertaubat. Allah berfirman,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. An-Nisa: 31).
Ayat ini menjelaskan, syarat dihapuskannya kesalahan adalah bertaubat, dengan meninggalkan dosa yang dilakukan.
Taubat secara bahasa artinya kembali. Orang yang bertaubat, berarti dia kembali dari kemaksiatan, menuju aturan Allah, diiringi memohon ampun kepada-Nya.
Rukun Utama Taubat Ada 3:
An-Nawawi mengatakan,
وقد سبق في كتاب الإيمان أن لها ثلاثة أركان: الإقلاع، والندم على فعل تلك المعصية، والعزم على أن لا يعود اليها أبدا
”Dalam kitab al-Iman disebutkan bahwa taubat memiliki 3 rukun: al-Iqla’ (meninggalkan dosa tersebut), an-Nadm (menyesali) perbuatan maksiat tersebut, dan al-Azm (bertekad) untuk tidak mengulangi dosa yang dia taubati selamanya. (Syarh Shahih Muslim, 17/59)
Berikut penjelasan lebih rincinya,
Pertama, al-Iqla’ (Meninggalkan dosa yang ditaubati).
Inilah bukti keseriusan taubatnya. Meninggalkan dosa yang dia lakukan. Seorang pegawai bank, belum dikatakan bertaubat dari riba, selama dia masih aktif kerja di bank. Seorang pezina belum dikatakan bertaubat dari zina, sementara dia masih rajin berzina.
Imam Fudhail bin Iyadh menyatakan:
“Istighfar tanpa meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta.”
Kedua, an-Nadm (Mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya)
Orang yang tidak mengakui dosanya, dia tidak akan menyesali perbuatannya. Dengan menyesal, dia akan bersedih jika teringat dosanya. Termasuk bagian dari penyesalan itu adalah tidak menceritakan dosa tersebut kepada orang lain, apalagi membanggakannya. Dan jika dosa itu dipicu karena komunitas dan lingkungan, dia akan meninggalkan lingkungan komunitasnya.
Bentuk penyesalan pezina adalah dengan menghindari segala yang bisa memicu syahwatnya.
Ketiga, al-Azm (Bertekad untuk tidak mengulangi dosanya)
Jika seseorang berhenti dari dosanya, sementara dia masih punya harapan untuk melakukannya jika waktu memungkinkan, maka dia belum disebut taubat.
Seseorang yang bertaubat dari pacaran ketika ramadhan, dan akan kembali pacaran usai ramadhan, belum disebut bertaubat.
Apakah dengan menikah, dosa zina otomatis hilang?
Dosa zina sebagaimana dosa besar lainnya, hanya bisa hilang dengan taubat. Dan syarat taubat adalah tiga seperti yang disebutkan di atas.
Karena itu, semata-mata menikah, belum menghapus dosa zina yang pernah dilakukan. Karena menikah, bukan syarat taubat itu sendiri. Kecuali jika pernikahan ini dilangsungkan atas dasar:
1. Menyesali dosa zina yang telah dilakukan
2. Agar tidak mengulang kembali dosa zina tersebut.
Jika menikah atas motivasi ini, insyaaAllah status pernikahannya bagian dari taubat untuk perbuatan zina itu.
Untuk itu, sebagian ulama menyarankan agar orang yang melakukan zina, untuk segera menikah, dalam rangka menutupi aib keduanya. Karena jika mereka berpisah, akan sangat merugikan pihak wanita, karena tidak ada lelaki yang bangga memiliki istri yang pernah dinodai orang lain secara tidak halal.
Sebagai tambahan, perlu juga memperhatikan beberapa aturan pernikahan orang yang berzina, sebagaimana yang dijelaskan di,
http://www.konsultasisyariah.com/calon-istri-pernah-berzina/
http://www.konsultasisyariah.com/6-hal-penting-tentang-hamil-di-luar-nikah/
http://www.konsultasisyariah.com/menikah-dengan-orang-yang-pernah-berzina/
Allahu a’lam

Hukum Kaos Bergambar Tengkorak

Kaos Bergambar Tengkorak

Ustadz, apa hukumnya memakai baju bergambar tengkorak, gambar hantu, iblis?
Hamba Allah
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, Allah menurunkan nikmat pakaian dengan dua fungsi, sebagai penutup aurat dan sebagai hiasan,
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. (QS. Al-A’raf: 26)
Gambar tengkorak adalah gambar menakutkan, yang jauh dari karakter hiasan. Karena itu, adanya gambar tengkorak di baju, tidak sesuai dengan tujuan Allah menurunkan pakain bagi Bani Adam. Terkecuali jika tabiat orang ini telah terjungking, sehingga sesuatu yang menakutkan justru menjadi perhiasan baginya.
Kedua, Allah mengajarkan kepada kita untuk berlindung dari setan.
وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ. وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
Katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau Ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (QS. Al-Mukminun: 97 – 98)
Seperti yang kita tahu, gambar jin, iblis, tengkorak, hantu, dst.. adalah lambang ’setan’.
Sementara memajang gambar sesuatu di kaos atau di baju, termasuk bentuk membanggakan apa yang tertera di gambar itu.
Jika Allah perintahkan kita untuk berlindung dari setan, akankah kita justru memajang gambarnya?
Ketiga, Islam mengajarkan kita agar pakaian yang kita gunakan itu sederhana, sehingga tidak mengundang perhatian orang lain.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Siapa yang memakai pakaian syuhrah, maka kelak di hari kiamat Allah akan memberinya pakaian kehinaan. (HR. Ibnu Majah 3606 dan dishahihkan al-Albani).
Yang dimaksud pakaian syuhrah adalah pakaian yang sangat tidak dikenal masyarakat, sehingga menimbulkan perhatian banyak orang.
Baju bergambar tengkorak, jelas mengundang perhatian, sehingga bertentangan dengan hadis di atas.
Keempat, islam mengajarkan agar dalam berpakaian atau kegiatan apapun, agar kita tidak meniru ciri khas orang kafir atau orang yang tidak baik.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia bagian dari kaum itu.” (HR. Ahmad 5115, Abu Daud 4031 dan dishahihkan al-Albani).
Seperti yang kita tahu, umumnya yang menggunakan pakaian dengan gambar tengkorak, iblis, setan, dst. adalah mereka yang jarang wudhu, jarang shalat, pecandu musik underground, preman, anak pank yang tidak tahu jalan pulang, dst. Bahkan semacam ini telah menjadi ciri khas mereka.
Sebagai orang mukmin yang baik, tentu kita sangat tidak ingin disamakan dengan mereka. Sementara hadis di atas menyatakan orang yang meniru ciri khas sekelompok orang tertentu, dia dianggap bagian dari kelompok itu.
Kelima, Mengingat berbagai pertimbangan di atas, tidak selayaknya seorang muslim menggunakan pakaian bergambar tengkorak, gambar hantu, iblis, atau gambar jorok.
Khusus untuk kaos bergambar tengkorak, ini pernah ditanyakan kepada Dr. Ahmad al-Hajji – anggota lembaga fatwa Kuwait -. Jawaban beliau sangat ringkas,
فلا ينبغي للمسلم لبسه. والله تعالى أعلم.
Tidak selayaknya bagi seorang muslim memakainya.
Allah a’lam..
Sumber: http://www.islamic-fatwa.com/fatawa/index.php?module=fatwa&id=56255
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

 


Pengaruh Zaman Terhadap Fatwa

Pertanyaan:
Ada fenomena yang telah memasyarakat, yang mana sebagian orang memahami bahwa sebagian perkara yang dulu diharamkan seperti radio, kini menjadi halal. Mereka mengatakan, bahwa berubahnya zaman atau tempat mempengaruhi fatwa. Kami mohon perkenan Syaikh yang mulia untuk menjelaskan kebenaran dalam hal ini. Dan bagaimana membantah orang yang mengatakan seperti itu? Semoga Allah memberi Anda kebaikan.

Jawaban:

Pengaruh Zaman Terhadap Fatwa

Sebenarnya, fatwa tidak berubah dengan berubahnya zaman, tempat ataupun individu, akan tetapi, hukum syariat itu bila terkait dengan alasan, jika alasannya ada maka hukumnya berlaku, jika alasannya tidak ada maka hukumnya pun tidak berlaku. Adakalanya seorang pemberi fatwa melarang seseorang terhadap sesuatu yang dihalalkan Allah karena sesuatu itu menyebabkan manusia melakukan yang haram, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar dalam masalah talak tiga, yaitu ketika ia melihat orang-orang menyepelekannya sehingga ia memberlakukannya. Sebelumnya, pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada masa Abu Bakar dan pada dua tahun pertama masa kekhilafan Umar, talak tiga dianggap satu, lalu karena Umar melihat orang-orang banyak menyepelekannya maka ia melarang mereka yang melakukan itu untuk rujuk kepada isteri-isterinya. Demikian juga tentang hukuman peminum khamr, sebelumnya pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada masa Abu Bakar, hukumannya tidak lebih dari 40 kali cambukan, tapi karena orang-orang masih banyak yang suka minum khamr, maka Umar bermusyawarah dengan para sahabat, yang hasilnya menetapkan hukumannya menjadi 80 kali cambukan.
Jadi, hukum-hukum syariat itu tidak mungkin dipermainkan manusia, jika mau mereka mengharamkan dan jika mau mereka halalkan, tapi hukum-hukum syariat itu harus berdasarkan pada alasan-alasan syar’iyyah yang bisa menetapkan atau meniadakan.
Adapun tentang radio, tidak ada seorang pun yang mengharamkannya dari kalangan ulama. Sedangkan yang mengharamkannya hanyalah orang-orang yang tidak mengetahui hakikatnya. Adapun para ulama –terutama Abdurrahman bin Sa’di-  tidak memandangnya sebagai hal yang haram, bahkan mereka memandang bahwa radio itu termasuk hal-hal yang diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, terkadang bermanfaat dan terkadang pula merusak, tergantung isinya. Demikian juga pengeras suara (loudspeaker), pada awal kemunculannya diingkari oleh sebagian orang, tapi itu karena tanpa penelitian. Sedangkan para peneliti tidak mengingkarinya, bahkan mereka memandang bahwa pengeras suara itu termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memudahkan mereka dalam menyampaikan khutbah dan wejangan kepada yang jauh.
Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin
Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, Darul Haq Cetakan: VI 2010

Kapan Abu Hurairah Masuk Islam?

Kapan Abu Hurairah masuk islam? Krn saya pernah mendengar, beliau masuk islam sebelum peristiwa hijrah. Apa itu benar?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Sebelumnya, kita perlu tahu sekelumit tentang latar belakang Abu Hurairah. Nama asli beliau Abdurrahman bin Shakr – menurut pendapat yang paling kuat –. Beliau berasal dari suku Daus dari Yaman. (Siyar A’lam an-Nubala, 2/578).
Menurut banyak riwayat, orang yang mendakwahkan islam di suku Daus adalah Thufail bin Amr ad-Dausi Radhiyallahu ‘anhu, yang masuk islam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekah. Dan Abu Hurairah termasuk orang yang mengikuti ajakan Thufail.

Siapa Thufail ad-Dausi?

Sebelum menjawab kapan islamnya Abu Hurairah, terlebih dahulu kita buka identitas Thufail bin Amr ad-Dausi. Karena sosok beliau membantu menentukan masa islamnya Abu Hurairah.
Dalam berbagai referensi sejarah, diantaranya at-Thabaqat al-Kubro karya Ibnu Sa’d, disebutkan biografi Thufail. Beliau adalah sosok yang terpandang, penyair ulung, sering dikunjungi orang. Beliau tiba di Mekah tahun ke-11 kenabian. Begitu tiba di Mekah, orang musyrikin menyambutnya, dan merekapun langsung mengingatkan beliau agar tidak dekat-dekat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يا طفيل، إنك قدمت بلادنا، وهذا الرجل الذي بين أظهرنا قد أعضل بنا، وقد فرق جماعتنا، وشتت أمرنا، وإنما قوله كالسحر، يفرق بين الرجل وأبيه، وبين الرجل وأخيه ، وبين الرجل وزوجه، وإنا نخشى عليك وعلى قومك ما قد دخل علينا، فلا تكلمه ولا تسمعن منه شيئًا
Hai Thufail, kamu datang ke negeri kami. Di sini ada orang yang telah merepotkan kami, memecah belah persatuan kami, mengacaukan semua urusan kami. Ucapannya seperti sihir, bisa membuat seorang ayah membenci anaknya, seseorang benci saudaranya, dan suami istri bisa bercerai. Kami mengkhawatirkan kamu dan kaummu mengalami seperti apa yang kami alami. Karena itu, jangan sampai engkau mengajaknya bicara dan jangan mendengar apapun darinya.
Mereka terus-menerus mengingatkan Thufail, hingga beliau menyumbat telinganya dengan kapas ketika masuk masjidil haram. Ketika beliau masuk masjidil haram, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat. Hingga Allah takdirkan, beliau mendengar sebagian bacaan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau semakin penasaran dan akhirnya menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah diajarkan tentang islam dan dibacakan sebagian ayat al-Quran, Thufail terheran-heran, hingga beliau tertarik masuk islam dan langsung bersyahadat masuk di depan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepadanya untuk mendakwahkan islam kepada kaumnya.
Beliau meminta suatu tanda. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan, “Ya Allah, berikanlah cahaya untuknya.”
Allahpun memberikan tanda di depan dahinya. Namun Thufail khawatir, justru ini dianggap tanda buruk baginya. Kemudian cahaya itu dipindah ke ujung cemetinya. Cahaya ini menjadi penerang baginya di waktu malam yang gelap. (at-Thabaqat al-Kubro  4/237, ar-Rahiq al-Makhtum hlm. 105).
Ada dua pendapat ulama tentang kapan Abu Hurairah masuk islam.
Pertama, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu masuk islam di awal tahun 7 Hijriyah. Bertepatan dengan peristiwa perang Khaibar. Dan inilah keterangan yang masyhur dari berbagai ahli sejarah.
Ibnu Abdil Bar mengatakan,
أسلم أبو هريرة وعمران بن حصين عام خيبر
Abu Hurairah dan Imran bin Husain masuk islam di tahun Khaibar. (al-Isti’ab, 1/374).
Keterangan lain, dari al-Khithabi,
أسلم أبو هريرة سنة سبع قدم المدينة ورسول الله بخيبر وأسلم عمرو وخالد بن الوليد سنة ست
Abu Hurairah masuk islam tahun 7 Hijriyah. Beliau datang ke Madinah, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Khaibar. Sementara Amr dan Khalid bin Walid tahun 6 Hijriyah. (Gharib al-Hadits, 2/485).
Keterangan Ibnul Atsir,
أسلم أبو هريرة عام خيبر، وشهدها مع رسول الله صلى الله عليه وسلم  ثم لزمه وواظب عليه رغبة في العلم فدعا له رسول الله صلى الله عليه و سلم
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu masuk islam di tahun Khaibar, dan beliau ikut peristiwa Khaibar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian selalu menampingi Nabi dan selalu bersama beliau, karena keinginan untuk mendapatkan ilmu. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan untuknya. (Usud al-Ghabah).
Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa Abu Hurairah masuk islam sebelum peristiwa Khaibar. Berikut beberapa keterangan mereka,
Ibnu Hibban,
أسلم أبو هريرة بدوس، فقدم المدينة ورسول الله  خارج نحو خيبر وعلى المدينة سباع بن عرفطة الغفاري استخلفه رسول الله ، فصلى أبو هريرة مع سباع، وسمعه يقرأ: { ويل للمطففين }، ثم لحق المصطفى  إلى خيبر، فشهد خيبر مع النبي
Abu Hurairah masuk islam di suku Daus. Kemdian beliau datang ke Madinah, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam teah berangkat menuju Khaibar. Ketika itu, yang bertanggung jawab terhadap kota Madinah adalah Siba bin Urfuthah al-Ghifari. Ditugaskan untuk menggantikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah shalat bersama Siba’, kemudian menyusul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Khaibar, dan ikut peristiwa Khaibar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Shahih Ibnu Hibban, 11/187).
Kemudian keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar, setelah beliau menceritakan islamnya Thufail,
وفيها أنه دعا قومه إلى الإسلام فأسلم أبوه ولم تسلم أمه وأجابه أبو هريرة وحده قلت وهذا يدل على تقدم إسلامه وقد جزم بن أبي حاتم بأنه قدم مع أبي هريرة بخيبر وكأنها قدمته الثانية
Di kampung ad-Daus Thufail mendakwahkan kaumnya untuk masuk islam, hingga ayahnya masuk islam, namun ibunya menolak. Kemudian Abu Hurairah menerima ajakan beliau sendirian.
Menurut saya (Ibnu Hajar), ini menunjukkan bahwa islamnya Abu Hurairah itu sejak awal. Bahkan Ibnu Abi Hatim menyebutkan bahwa Thufail datang ke Khaibar bersama Abu Hurairah. Seolah ini adalah kedatangan yang kedua. (Fathul Bari, 8/102)
Diantara ulama kontemporer yang menegaskan islamnya Abu Hurairah sebelum peristiwa hijrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah adalah al-A’dzami. Dalam catatan kaki untuk Shahih Ibnu Khuzaimah, beliau mengatakan,
أسلم أبو هريرة قبل الهجرة إلى المدينة بسنوات، لكنه هاجر بزمن خيبر، انظر ترجمة الطفيل ابن عمرو الدوسي في الاستيعاب والإصابة
Abu Hurairah masuk islam beberapa tahun sebelum peristiwa hijrah. Namun beliau hijrah di masa peritiwa Khaibar. Anda bisa lihat biografi Thufail bin Amr ad-Dausi di kitab al-Isti’ab dan kitab al-Ishabah. (Ta’liq Shahih Ibn Khuzaimah, 1/280).
Keterangan yang lain juga disampaikan Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam kitabnya ‘Abu Hurairah, Rayatul Islam’ (Abu Hurairah, Bendera Islam),
أن أبا هريرة أسلم قديماً وهو بأرض قومه على يد الطفيل بن عمرو، وكان ذلك قبل الهجرة النبوية
Bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu masuk islam dari awal, ketika beliau masih di kampung halamannya, mengikuti ajakan Thufail bin Amr. Dan itu terjadi sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Abu Hurairah, Rayatul Islam, hlm 70).
Dari beberapa keterangan dan riwayat di atas, yang lebih mendekati, nampaknya Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, telah masuk islam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekah. Hanya saja, beliau datang ke Madinah dan selalu menyertai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika peristiwa perang Khaibar.
Allahu a’lam.
Ujian Dari Allah dan Cara Mengatasinya


﴿ لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [ آل عمران : 186 ]
Artinya: “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”[1] (QS Âli ‘Imrân : 186)

Tafsir Ringkas
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Allah ta’âla mengabarkan dan mengatakan kepada orang-orang mukmin bahwa mereka akan diuji pada harta mereka dengan mengeluarkan nafkah-nafkah yang wajib dan juga yang sunnah serta dengan kehilangan harta mereka untuk (beribadah/berjuang) di jalan Allah. (Mereka juga akan diuji) pada diri-diri mereka dengan berbagai hal yang berat yang dibebankan oleh banyak manusia.
(Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati) berupa celaan terhadap diri-diri, agama, Kitab dan Rasul kalian…Oleh karena itu, Allah berkata, ‘(Jika kamu bersabar dan bertakwa)‘ maknanya adalah jika kalian bersabar atas apa-apa yang kalian dapatkan pada harta dan diri kalian berupa ujian, cobaan dan gangguan dari orang-orang yang zolim, serta kalian dapat bertakwa kepada Allah di dalam kesabaran itu dengan meniatkannya untuk mengharap wajah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan kalian tidak melampaui batas kesabaran yang ditentukan oleh syariat yang mana pada saat itu tidak dihalalkan menghadapinya hanya dengan kesabaran, tetapi harus dengan membalas perlakuan musuh-musuh Allah. (Maka Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan) artinya itu termasuk urusan yang harus didahulukan dan saling berlomba-lomba untuk meraihnya. Tidaklah ada yang diberi taufik untuk dapat melakukan hal ini kecuali orang-orang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi sebagaimana firman Allah ta’âla, (artinya): ‘Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.
[2].”[3]

Sebab Turunnya Ayat (sababun-nuzûl)
Sebagian ayat-ayat Al-Qur’ân memiliki sebab mengapa ayat tersebut diturunkan. Ayat ini diturunkan berhubungan dengan kisah yang terjadi di pemukiman Al-Hârits bin Al-Khazraj (Madinah) sebelum terjadinya perang Badar.
Kaum muslimin ketika itu sedang berkumpul dengan kaum musyrikin dan  orang-orang Yahudi. Datanglah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ke tempat itu dan memberi salam. Di majlis itu ada ‘Abdullâh bin Ubai bin Salûl, dia berkata, “Janganlah kalian mengotori kami!” Rasulûlullâhshallallâhu ‘alaihi wa sallam pun mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. ‘Abdullâh bin Ubai menyahut, “Wahai lelaki! Apa yang engkau katakan bukanlah sesuatu yang bagus.  Jika itu adalah sesuatu yang hak, maka Janganlah kamu mengganggu kami dengan perkataan itu! Kembalilah ke hewan tungganganmu! Barang siapa mendatangimu, maka ceritakanlah perkataan itu!”
Perkataan itu sangat menyakitkan hati kaum muslimin, sehingga terjadilah pertengkaran di majlis itu antara orang-orang muslimin dengan orang-orang kafir. Akhirnya, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun menenangkan mereka. Setelah mereka tenang Rasûlullullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun kembali ke tunggangannya dan pergi. Setelah itu Allah menurunkan ayat ini yang berisi perintah untuk bersabar atas gangguan-gangguan orang-orang kafir.[4]

Penjabaran dan tafsir ayat
Ujian adalah sunnah kauniyah (ketetapan Allah yang pasti akan terjadi) untuk setiap muslim
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
Artinya: “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.”


Ujian adalah sunnah kauniyah untuk setiap muslim. Seorang muslim tidak mungkin mengelak dari ujian tersebut. Oleh karena itu, Allah memberi dua penekanan pada ayat ini dengan firman-Nya ( لَتُبْلَوُنَّ ) “kamu sungguh sungguh dan benar-benar akan diuji.”[5]
Al-Mufassir Ibnu Katsir berkata, “Firman Allah (Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu) seperti firman-Nya: (Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn’)[6]Seorang mukmin pasti akan diuji pada sesuatu dari harta, jiwa, anak dan keluarganya.[7]
Allah subhânahu wata’âla juga berfirman:

﴿ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْض [ محمد : 4]
Artinya: “Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.” (QS Muhammad : 4)
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

(( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ عَلَى الْقَبْرِ فَيَتَمَرَّغُ عَلَيْهِ وَيَقُولُ: يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَكَانَ صَاحِبِ هَذَا الْقَبْرِ وَلَيْسَ بِهِ الدِّينُ إِلَّا الْبَلَاءُ ))
Artinya: “Demi yang jiwaku berada di tangannya! Dunia ini tidak akan fana, kecuali setelah ada seseorang yang melewati sebuah kuburan dan merenung lama di dekatnya seraya berkata, ‘Seandainya aku dulu seperti penghuni kubur ini, tidak ada yang dirasakan pada agamanya kecuali hanya ujian saja.’.”[8]



Kuatnya iman dan besarnya ujian selalu berbanding lurus
Semakin kuat keimanan seseorang, maka ujian yang akan diberikan oleh Allah akan semakin besar. Rasulûllâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Sa’d bin Abî Waqqâsh radhiallâhu ‘anhu:
(( يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ))
Artinya: “Ya Rasûlullâh! Manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar keberagamaannya. Jika agamanya kuat maka akan ditambahkan ujian itu. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar keberagamaannya.”[9]
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
(( إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ ))
Artinya: “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Barang siapa yang rida dengan ujian itu maka ia akan mendapat keridaan-Nya. Barang siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kebencian-Nya.”[10]


Mengapa Allah mengabarkan bahwa ujian ini pasti akan terjadi?
Ada beberapa faidah yang bisa kita “petik” dari pengabaran itu, di antaranya:
1.       Kita akan mengetahui bahwa ujian tersebut mengandung hikmah Allah ta’âla. Dengan hikmah itu, Allah membedakan muslim yang benar keimanannya dengan yang tidak.
2.       Kita akan mengetahui bahwa Allah-lah yang mentakdirkan ini semua.
3.       Kita akan bersiap-siap untuk menghadapi ujian itu dan akan bisa bersabar serta akan merasakan keringanan dalam menghadapinya.[11]

Ujian tidak hanya dengan sesuatu yang buruk
Allah tidak hanya menguji seseorang dengan sesuatu yang buruk. Akan tetapi, Allah juga menguji seseorang dengan sesuatu yang baik. Allah subhanahu wa ta’âla berfirman:

﴿ كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ [الأنبياء: 35 ]
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan Hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS Al-Anbiyâ’ : 35)
Terkadang seorang muslim apabila ditimpa dengan musibah dan kesusahan, maka dia dapat bersabar. Akan tetapi, begitu dia diberikan kenikmatan yang berlebih maka terkadang dia tidak bisa “lulus” dari ujian tersebut. ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiallâhu ‘anhu pernah berkata:
 (( ابْتُلِينَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا ثُمَّ ابْتُلِينَا بِالسَّرَّاءِ بَعْدَهُ فَلَمْ نَصْبِرْ ))
Artinya: “Kami diuji dengan kesusahan-kesusahan (ketika) bersama Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan kami dapat bersabar. Kemudian kami diuji dengan kesenangan-kesenangan setelah beliau wafat dan kami pun tidak dapat bersabar.”[12]

Ujian itu adalah rahmat dari Allah
Ujian yang diberikan oleh Allah adalah rahmat kepada seluruh manusia terlebih lagi untuk kaum muslimin.
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ [ محمد: 31 ]

Artinya: “Dan Sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS Muhammad : 31)
Dengan adanya ujian itu, akan tampak orang yang benar-benar beriman dengan yang tidak. Ini adalah rahmat dari Allah. Allah subhânahu wata’âla berfirman:

﴿ أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ [ العنكبوت: 2]
Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami Telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-‘Ankabût : 2)

Ujian yang lebih berat dari harta dan jiwa
Ternyata ada ujian yang lebih berat dari ujian pada harta dan jiwa. Apakah ujian tersebut? Allahsubhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا [ آل عمران : 186 ]
Artinya: “Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati.”
Dengan penggalan ayat tersebut kita dapat menjawab pertanyaan di atas. Ujian yang lebih berat dari hal-hal tersebut adalah ujian pada agama kita.
Kalau kita memperhatikan makna ayat yang kita bahas ini, maka kita akan menemukan bahwa Allah mengurutkan ujian-ujian tersebut dari yang lebih ringan ke yang lebih berat. Ujian pada harta lebih ringan daripada ujian pada jiwa. Ujian pada jiwa lebih ringan daripada ujian pada agama. Seseorang bisa saja memiliki harta yang melimpah dan badan yang sangat sehat, tetapi jika dia keluar dari agama Islam karena tidak tahan dengan cemohan orang-orang kafir, maka ini adalah sesuatu kerusakan yang besar baginya, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang-orang kafir tidak akan berhenti mengganggu kaum muslimin
Gangguan dari orang-orang kafir, baik berupa ejekan maupun tindakan fisik, pasti akan terus ada. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ [ البقرة: 109 ]

Artinya: “Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran, maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah : 109)
Dan juga firman-Nya:

﴿ وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ [ البقرة: 120 ]
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah : 120)

Hakikat ahlul-kitâb berbeda berbeda dengan orang-orang musyrik
Dari ayat di atas, Allah subhânahu wa ta’âla membedakan antara ahlulkitâb (Yahudi dan Nasrani) dengan kaum musyrikin. Ini menunjukkan bahwa hakikat dari Ahlul-kitâb dan musyrikin itu berbeda. Meskipun mereka berbeda, mereka tetap memiliki kesamaan yaitu kesamaan dalam kekafiran.  Tempat kembali mereka di akhirat nanti adalah neraka –na’udzu billah min dzalik-.

Cara yang diajarkan oleh Allah untuk menghadapi segala ujian
Allah tidak akan melalaikan hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Allah juga mengajarkan kepada kaum muslimin bagaimana cara menghadapi ujian tersebut. Allah subhânahu wa ta’âlaberfirman:
﴿ وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [ آل عمران : 186 ]
Artinya: “Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”
Menghadapi semua ujian harus dengan kesabaran dan ketakwaan. Hukum bersabar dan bertakwa dalam menghadapi ujian bukanlah sunnah, tetapi itu adalah sesuatu yang wajib dikerjakan oleh semua muslim.

Penyebutan kesabaran yang berdampingan dengan ketakwaan di dalam Al-Qur’an
Setidaknya, di Al-Qur’an ada enam tempat dimana Allah menggabungkan kata kesabaran dan ketakwaan dalam konteks yang sama, yaitu: di dalam surat Ali ‘Imran ayat 118, 125, dan 186, di dalam surat Yusuf ayat 90, di dalam surat An-Nahl ayat 125 hingga 128 dan surat Thâha ayat 132.[13] Ini menunjukkan bahwa kesabaran memiliki hubungan yang sangat erat dengan ketakwaan.

Hasil yang didapatkan dengan bersabar
Orang yang dapat bersabar menghadapi semua ujian akan memperoleh hal-hal yang terpuji, di antaranya[14]:
1.       Dia akan mendapatkan pahala seperti orang-orang yang memiliki keteguhan hati (ulul-‘azm).[15]
2.       Dia akan mendapatkan keberkatan yang sempurna, rahmat dan petunjuk dari Allah.
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman (artinya): “Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah : 157)
1.       Dia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman (artinya): “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS Fushshilat : 35)
2.       Dia akan mendapatkan pahala tanpa batas. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman (artinya): “Sesungguhnya Hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar : 10)
3.       Dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah ta’âla. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda:

)فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ(
Artinya: “Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.”[16]

Dakwah pun pasti penuh dengan ujian
Para dai (pendakwah) adalah penerus Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang yang akan mendapatkan ujian yang paling berat. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk dapat berilmu, beramal dan berdakwah. Mereka tidak hanya akan diuji dengan kekurangan harta, kelelahan fisik dan lain-lain, tetapi mereka juga akan diuji dengan ejekan, cemohan dan fitnah, baik dari kaum muslimin sendiri maupun dari kaum kafirin. Di antara mereka ada yang dapat bersabar menghadapinya dan terus berdakwah di masyarakat, tetapi ada juga yang tidak bisa bersabar dan mencari tempat yang sepi untuk menjauhi masyarakat. Para pendakwah yang dapat bersabar menghadapi gangguan dari masyarakat lebih baik daripada yang tidak dapat bersabar. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( الْمُسْلِمُ إِذَا كَانَ مُخَالِطًا النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنْ الْمُسْلِمِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ ))
Artinya: “Seorang muslim yang berkecimpung dengan manusia dan dapat bersabar atas gangguan-gangguan mereka lebih baik dari muslim yang tidak berkecimpung dengan mereka dan tidak sabar dengan gangguan mereka.”

Kesimpulan dan faidah dari ayat
1.       Ujian pada harta, diri dan agama adalah sunnah kauniyah (ketetapan Allah yang pasti terjadi) pada setiap muslim.
2.       Kaum kafirin akan selalu mengganggu kaum muslimin, baik dengan perkataan ataupun perbuatan
3.       Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar mereka bisa bersabar dan bertakwa untuk menghadapi seluruh ujian tersebut.

Tamma bifadhlillâh wa karamihi. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Jember, Shafar 1431 H

[1] Lihat terjemahan ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya di dalam artikel ini di ‘Al-Qur’an dan Terjemahannya’ yang diterbitkan oleh Mujamma’ Al-Malik Fahd: Madinah Munawwarah, KSA.
[2] QS Fushshilat : 35
[3] Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân hal. 160.
[4] Penulis ringkas dengan bahasa bebas dari Shahîh Al-Bukhâri no. 4577 (Kitab At-Tafsîr, Surat Âli ‘Imrân)
[5] Syaikh Ibnu ‘Âsyûr berkata, “Allah memberi penekanan pada kata kerja ini dengan lâm al-qasam dan nûn at-taukîd asy-syadîdah untuk menunjukkan bahwa ujian itu akan benar-benar terjadi. Karena nûn at-taukîd asy-syadîdah lebih kuat dari segi pendalilan daripada (nûn) at-taukîd alkhafîfah.” (At-Tahrîr wa At-Tanwîr Jilid IV hal. 189)
[6] QS Al-Baqarah : 155-156.
[7] Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Adzîm milik Ibnu Katsîr Jilid II hal. 179
[8] HR Muslim no. 7302
[9] HR At-Tirmidzi No. 2398, An-Nasâi di As-Sunan Al-kubrâ no. 7482  dan Ibnu Mâjah No. 4523 (Hadits ini di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 143 dan Al-Misykah no. 1562).
[10] HR At-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Mâjah no. 4031 (Hadîts ini di-shahîh-kan oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 146).
[11] Lihat Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân hal. 160.
[12] HR At-Tirmidzi no. 2464 (Hadîts ini di-hasan-kan sanadnya oleh Syaikh Al-Albâni di Shahihwa Dha’îf Sunan At-Tirmidzi jilid V hal. 464.
[13] Untuk empat dari keenam tempat itu penulis mendapatkan faidah dari Daqâiq At-Tafsîr Al-Jâmi’ Li Tafsîr Ibni Taimiyah jilid II hal. 299-300, adapun sisanya penulis memanfaatkan Software Maktabah Syâmilah untuk mencarinya.
[14] Poin ke-2 hingga ke-4 Penulis mengambil faidah dari Adhwâ’ Al-Bayân jilid I hal. 187
[15] Lihat At-Tahrîr wa At-Tanwîr jilid IV hal. 190
[16] HR At-Tirmidzi no.2398 , An-Nasâ’i di As-Sunan Al-kubrâ no. 7482 dan Ibnu Mâjah no. 4523 (Hadîts ini di-shahîh-kan oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 143 dan Al-Misykâhno. 1562).

Penulis: Al-Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc