Bolehkan shalawatan dengan iringan musik?

Dalam kita mencari ilmu untuk beribadah
berdasarkan apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, masih
banyak yang keliru dalam memahami kaidah sebenarnya sebagai panduan dalam
beribadah. Maka lahirlah begitu banyak perselisihan di dalam bab ini. Baik
perselisihan dengan golongan Ahli Ahwa’ (golonganRafhidhah yang menghalalkan
bid’ah di dalam urusan agama) yang memang tersesat dari Manhaj Ahlus Sunnah
maupun perselisihan sesama golongan yang berpaham atau bermanhaj Ahlus Sunnah.
Pembahasan di sini akan difokuskan kepada isu yang
menjadi persoalan di dalam masyarakat, jik ada ahli ilmu atau pencinta ilmu
dalam kalangan ahli ibadah, orang masjid yang melakukannya.
Kita sadar dan paham bahwa perkara yang dibahas
ini adalah perkara khilaf yang telah terjadi perbedaan pandangan para ulama’
dahulu dan sekarang. Namun untuk menjelaskan isu ini, sebaiknya kita rujuk
pandangan imam yang besar dan pandangan ulama’ dalam kalangan pendukung Madzhab
Asy Syafi’i yang dekat dengan jiwa kita.
Membaca Shalawat Sambil Diiringi Rebana,
Gendang, Atau Alat Musik
Bolehkan shalawatan dengan iringan musik?
Perbuatan ini sama juga seperti membaca
qasidah-qasidah atau sya’ir-sya’ir yang dinyanyikan dan diringi dengan pukulan
kayu, rebana, atau seumpamanya. Bahkan lebih parah lagi sambil
menggoyang-goyang badan, berpusing-pusing dan menari-nari. Ia disebut
dengan istilah as sama’ atau taghbir (sejenis syair berisi
anjuran untuk zuhud di dunia yang dinyanyikan dengan sebagian hadirin
memukul-mukul kayu pada bantal, kulit atau sebagainya sesuai dengan irama lagunya).
Sebagian pandangan ulama-ulama Ahlus Sunnah adalah
sebagai berikut:
1. Imam Asy Syafi’i (Wafat 204 H)
Beliau berkata:
خلفت
ببغداد شيئاً أحدثته الزنادقة يسمونه التغبير يصدون به الناس عن القرآن
“Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbir.
(Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq;
menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al Quran.” (Riwayat Ibnul Jauzi,
dalam Talbis Iblis).
Abu Manshur Al Azhari menyatakan bahwa al
mughabbirah (pemain at taghbir) adalah sekelompok manusia yang menekuni dzikir
kepada Allah dengan doa dan merendahkan diri kepada-Nya. Mereka lalu
menamakannya sebagai sya’ir. Sambil mereka menyaksikannya, mereka menyanyi,
bersenang-senang, dan menari (menggoyang-goyangkan badan). (Talbis Iblis)
Ulama’ menjelaskan perkataan Imam Asy
Syafi’i tersebut dengan mengatakan:
وما
ذكره الشافعي – رضي الله عنه – من أنه من إحداث الزنادقة – فهو كلام إمام خبير
بأصول الإسلام؛ فإن هذا السماع لم يرغب فيه ويدعو إليه في الأصل إلا من هو متهم
بالزندقة…ذكر أبو عبد الرحمن السلمي في مسألة السماع…..”
“Apa yang disebutkan oleh Imam Asy Syafi’i
rahimahullah (bahwa perbuatan tersebut merupakan hasil ciptaan para Zindiq),
adalah suatu pandangan seorang imam yang ahli dalam ilmu ushul dalam Islam.
Karena pada dasarnya, tidak ada yang menggalakkan dan menganjurkan nyanyian
melainkan orang-orang Zindiq….. Sebagaimana yang disebutkan oleh Abdurrahman As
Sulami dalam Mas’alah As Sama’ dari Ibnu Rawandi.” (Majmu’ Al Fatawa,
11/570).
Dalam kitabnya, Al Umm, Imam Asy Syafi’i
rahimahullah menegaskan lagi bahwa:
(قَالَ
الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى): “فِي الرَّجُلِ يُغَنِّي فَيَتَّخِذُ
الْغِنَاءَ صِنَاعَتَهُ يُؤْتَى عَلَيْهِ وَيَأْتِي لَهُ، وَيَكُونُ مَنْسُوبًا
إلَيْهِ مَشْهُورًا بِهِ مَعْرُوفًا، وَالْمَرْأَةُ، لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا؛ وَذَلِكَ أَنَّهُ مِنْ اللَّهْوِ الْمَكْرُوهِ الَّذِي
يُشْبِهُ الْبَاطِلَ، وَأَنَّ مَنْ صَنَعَ هَذَا كَانَ مَنْسُوبًا إلَى السَّفَهِ
وَسُقَاطَة الْمُرُوءَةِ، وَمَنْ رَضِيَ بِهَذَا لِنَفْسِهِ كَانَ مُسْتَخِفًّا،
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُحَرَّمًا بَيِّنَ التَّحْرِيمِ، وَلَوْ كَانَ لَا يَنْسُبُ
نَفْسَهُ إلَيْهِ، وَكَانَ إنَّمَا يُعْرَفُ بِأَنَّهُ يَطْرَبُ فِي الْحَالِ
فَيَتَرَنَّمُ فِيهَا، وَلَا يَأْتِي لِذَلِكَ، وَلَا يُؤْتَى عَلَيْهِ، وَلَا
يَرْضَى بِهِ لَمْ يُسْقِطْ هَذَا شَهَادَتَهُ، وَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ.” (الأم
للشافعي (6/ 226)- الشاملة).
“Seorang lelaki yang menyanyi dan menjadikannya
sebagai pekerjaan, adakalanya ia diundang dan adakalanya ia didatangi sehingga
ia dikenal dengan sebutan penyanyi, juga seseorang wanita (yang seperti itu),
maka tidak diterima sumpah persaksiannya. Karena menyanyi termasuk permainan
yang dibenci. Tetapi, adalah yang lebih tepat, siapa saja yang melakukannya,
maka ia disebut sebagai orang dungu (bodoh) dan mereka termasuk orang yang
sudah tiada harga diri (jatuh kehormatannya)…” (Asy Syafi’i, Al Umm,
6/226).
Dalam madzhab Asy Syafi’i sendiri dinyatakan
bahwa: “Diharamkan menggunakan dan mendengar alat-alat musik seperti biola,
gambus, shonji (yaitu dua piring tembaga yang saling dipukulkan agar
menghasilkan bunyi), gendang, seruling, dan sebagainya. Setiap alat musik yang
bertali adalah haram tanpa khilaf. Dibolehkan duff (rebana) bagi majlis
resepsi pernikahan, berkhitan, atau sejenisnya. Nyanyian jika tanpa alat musik,
hukumnya makruh (dibenci) dan jika dengan diiringi alat-alat musik hukumnya
adalah haram.” (Lihat perbahasannya dalam kitab Mughni Al Muhtaj ila
Ma’rifah Al Faz Al Minhaj, Kitab Asy Syahadat karya Imam Muhammad bin Ahmad
bin Al Khathib Asy Syarbini).
2. Imam Ahmad
Saat ditanya tentang taghbir, beliau
menjawab: “Bid’ah.” (Riwayat Al Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath
Tharb, halaman 163).
3. Al Qadhi Abu Ath Thayib Ath Thabari (wafat
450H)
Beliau adalah seorang tokoh ulama’ Asy Syafi’i
yang telah menyatakan bahwa: “Kelompok yang menyanyi untuk ibadah ini telah
menyalahi jamaah Muslimin karena telah menjadikan nyanyian sebagai agama dan
ketaatan. Iklan-iklan mereka terdapat di masjid-masjid, jami’ah dan semua
tempat mulia.” (Mas’alah As Sama’, Ibnu Al Qayyim).
4. Imam At Tartusyi (wafat 520H)
Tokoh ulama’ Maliki dari kota Qurtubah ini ditanya
tentang satu kelompok di suatu tempat yang membaca Al Quran, lalu seseorang di
antara mereka menyanyikan sya’ir, kemudian mereka menari dan bergoyang. Mereka
juga memukul rebana dan memainkan seruling. Apakah menghadiri majlis mereka itu
halal atau tidak?
Beliau menjawab:
“Jalan mereka itu adalah batil dan sesat. Islam
itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya. Adapun menari dan berpura-pura
menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakannya
adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri
membuatkan patung anak lembu yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka
datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah).
Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak lembu.
Adapun majlis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka
dihinggapi burung. Maka seharusnya pemerintah dan wakil-wakilnya melarang
mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari). Dan
bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, tidaklah halal
menghadirinya. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan. Demikian ini
jalan yang ditempuh oleh (Imam) Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, dan
lainnya dari kalangan imam-imam kaum Muslimin.” (Tafsir Al Qurthubi
11/238 Syamilah. Lihat kitab Tahrim Alat Ath Tharb, halaman 168-169).
5. Imam Al Hafiz Ibnu Ash Shalah (wafat 643 H)
Beliau adalah imam terkenal penulis kitab Muqaddimah
‘Ulumil Hadits. Beliau juga ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan
nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan bertepuk-tangan. Mereka
menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan
diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama.
فتاوى
ابن الصلاح (2/ 499): مَسْأَلَة أَقوام يَقُولُونَ إِن سَماع الْغناء بالدف….
Kesimpulan jawaban beliau ialah: “Mereka telah
berdusta atas nama Allah Ta’ala. Dengan pendapat tersebut, pandangan ini
masyhur di kalangan golongan Bathiniyyah yang Mulhidin (menyimpang).
Mereka juga bertentangan dengan ijma’.
Siapa yang menentang ijma’, (ia) terkena ancaman
firman Allah:
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ
مَصِيرًا
“Dan siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”
(An-Nisa:115).” (Fatawa Ibnu Ash Shalah, 2/499- Syamilah. Lihat: Kitab
Tahrim Alat Ath Tharb, halaman 170).
6. Syaikh Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah
rahimahullah
Beliau berkata: “Dan telah diketahui secara pasti
dari agama Islam, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mensyariatkan
kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari umatnya, agar mereka
berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan bertepuk tangan,
atau pukulan dengan kayu (tongkat), atau rebana. Sebagaimana beliau tidak
membolehkan bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti
apa yang ada pada Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Beliau tidak membolehkan,
baik dalam perkara batin atau zahir, untuk orang awam atau untuk orang
tertentu.” (Majmu’ Fatawa, 11/565. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath Tharb,
halaman 165).
7. Fatwa Imam As Suyuthi rahimahullah (wafat 911H)
Beliau berkata,
“ومن
ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر
الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع ” أي تعظم ” ويذكر فيها
اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها،
وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر
فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.”
(الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع – (ج 1 / ص 30) المكتبة الشاملة).
“Dan di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam
masjid, memukul duff (atau gendang) atau rebab (sejenis alat musik bertali
seperti biola), atau selain itu dari jenis-jenis alat-alat musik.
Maka siapa yang melakukan perkara yang tersebut di
dalam masjid maka dia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, perlu
dihalau, dan boleh dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk
memuliakan masjid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Bertasbihlah kepada
Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan (yaitu
menggagungkannya) dan disebut nama-Nya di dalamnya.” (An-Nur, 24: 36).
Yaitu dibacakan kitab-Nya di dalamnya.
Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah
Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis,
anak-anak (dari mengotori masjid), ingus, bawang putih, bawang merah
(memakannya kemudian ke masjid tanpa bersugi terlebih dahulu), nasyid-nasyid,
sya’ir, nyanyian dan tarian di dalamnya. Maka siapa yang menyanyi atau menari di
dalamnya maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak
dikenakan hukuman.” (Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu
‘anil Ibtida’, halaman. 30 – Al Maktabah Asy Syamilah).
……
Penutup
Demikianlah penjelasan yang ringkas tentang
masalah ini, kami nukilkan untuk maklumat dan penjelasan kepada masyarakat,
lakukanlah amalan yang jelas ada dalil keharusannya, mencari yang benar dan
tidak ada keraguan dalam beribadah adalah selamat sebagaimana yang diputuskan
oleh para ulama’ bahwa الخروج من الخلاف مستحب “Keluar dari perkara khilaf adalah dianjurkan.”
Perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
عن
الحسن بن علي بن أبي طالب سبط رسول الله وريحانته رضي الله عنه قال: حفظت من رسول
الله صلى الله عليه وسلم: (دعْ ما يرِيبُك إلى ما لا يريبُك ) رواه الترمذي وقال :
حديث حسن صحيح .
“Tinggalkan apa yang kamu ragu kepada perkara
tidak meragukan kamu.” (HR At Tirmidzi, hasan shahih)
Perbuatan ini adalah khilaf antara haram dengan
harus, bukan antara afdhal dengan kurang baik. Alhamdulillah, jalan
ibadah kepada Allah yang shahih banyak dan luas, kenapa mencari jalan yang
kabur dan tidak jelas. Uslub untuk berdakwah dengan cara yang selamat masih
banyak, tidak perlu menggunakan jalan yang meragukan keharusan amalnya, juga
kesan akan keberhasilannya.
Dalam ibadah tidak memadai hanya niat yang baik
tanpa mengikut syariat atau Sunnah. Niat yang baik mestilah diiringi dengan
cara yang betul. Firman Allah SWT:
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Dia-lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan
hidup – untuk menguji dan mennyatakan keadaan kamu: siapakah di antara kamu
yang lebih baik amalnya; dan Ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha
Pengampun.” (Al Mulk 67:02)
Makna “lebih baik amalnya” (أحسن
عملا ) ialah siapa yang amalannya paling ikhlas
dan paling betul (أخلصه وأصوبه).
Ini karena sesuatu amalan jika ikhlas tetapi tidak betul maka ia tidak
diterima. Begitu juga sekiranya betul tetapi tidak ikhlas, maka ia tidak
diterima juga. Betul di sini merujuk kepada apa yang ditunjukkan oleh Al Qur’an
dan Al Sunnah.
Insan tanpa panduan Al Quran dan As Sunnah akan
tersesat dalam menentukan cara ibadah kepada tuhan. Inilah yang terjadi di
dalam agama-agama palsu. Mereka menciptakan cara ibadah menurut akal pikiran
mereka tanpa petunjuk ajaran wahyu. Mereka tersesat jalan karena mendakwa
kehendak tuhan dalam ibadah tanpa bukti, sekalipun mungkin mereka itu ikhlas.
Keikhlasan tanpa diikuti dengan cara yang ditunjukkan oleh Al Quran dan As
Sunnah tidaklah mendapat tempat.
Maka ibadah mestilah tepat dengan apa yang dibawa
oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdalilkan apa yang disebut oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala: “Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika benar kamu mengasihi
Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan
dosa-dosa kamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.”
(Ali Imran 3:31)
Ibadah yang tidak mengikut cara yang ditunjukkan
oleh baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sekalipun niat pengamalnya
baik, adalah tertolak. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan siapa yang
mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima daripadanya, dan dia
pada hari akhirat kelak dari orang-orang yang rugi.” (Ali Imran 3:85)
Berkata Al Imam Ibn Katsir rahimahullah (774H)
ketika menafsirkan ayat di atas: “Siapa yang melalui suatu cara yang lain dari
apa yang disyari‘atkan oleh Allah, maka sama sekali iaa tidak diterima.” (Tafsir
Ibn Katsir).
Dalam hal ini Dr. Yusuf Al Qaradhawi juga mengingatkan:
“Hendaklah seorang Muslim dalam ibadahnya mengikut
batasan yang ditentukan untuknya. Tidak mencukupi hanya sekadar bertujuan untuk
keridhaan Allah semata, bahkan hendaklah ibadah itu dilakukan dalam bentuk yang
disyariatkan Allah, dengan kaifiyyat (tatacara) yang diridhai-Nya.
Janganlah ibadah seorang Muslim itu ialah apa yang yang direka oleh manusia
berdasarkan hawa nafsu dan sangkaan.” (Yusuf Al Qaradhawi, Al `Ibadah fi Al
Islam).
Semoga kita mendapat bimbingan dan rahmat dalam
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.
DR. Abdul
Basith Abdur Rahman
Tulisan serupa terdapat di fimadanidotcom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar