Jumat, 18 Juli 2014

HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM




Oleh : Ustadz H. Ali Bazmul

A. Pengertian.
            Nikah  atau  Zuwaj  dalam  bahasa Arab berarti kawin, kalimat nikah atau tazwij diarti-
kan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-Jarizi dalam kitab fiqih ala Madzhabil arba’ah menyebutkan ada 3 macam ma’na nikah
1.      Ma’na Lughawi atau ma’na menurut  bahasa.  وَهُوَ الْوَطْءُ وَالضَّمُّ  bersenggama atau bercampur…    تَنَاكَحَتِ اْلأَشْجَارُ إِذَا تَمَايَلَتْ وَانْضَمَّ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ Terjadinya perkawinan antara kayu-kayu apabila kayu-kayu itu saling condong dan becampur satu dengan yang lain.
Dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab boleh nya atau halalnya bersenggama
2.      Ma’na Ushuli atau ma’na menurut syar’i. Para ulama berbeda pendapat tentang
ma’na ushuli dan ma’na syar’i ini.
A). Menyatakan bahwa NIKAH arti hakikatnya adalah WATHA’ (bersenggama)
Dalam pengertian majaz nikah adalah akad. Sedang dalam Al-Qur’an ataupun Al-Hadits kata NIKAH itu berarti WATHA’ ( bersenggama )
وَلاَتَنْكِحُوْا مَانَكَحَ آبَاءُكُمْ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّمَاقَدْ سَلَفَ ( البقرة 230 )
Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang yang telah dikawini oleh ayah-ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau. ( Annisa’ : 22 )
B). Menyatakan bahwa ma’na hakikat NIKAH adalah AKAD. Sedang ma’na majaznya adalah WATHA’ (bersenggama), pengertian ini kebalikan dari menurut ma’na Lughawi (menurut bahasa). Hal ini dapat kita temui dalam Al-Baqarah 230 :
حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ hingga ia kawin dengan suami yang lain.
C). Menyatakan bahwa ma’na hakikat dari NIKAH adalah MUSYTARAK atau gabungan dari arti AKAD dan WATHA’ sebab untuk pemakaian syara’ NIKAH kadang-kadang berarti WATHA’.
            3.   Ma’na Fiqhi menurut ahli fiqih.  Para  ahli  fiqih  juga  berbeda pendapat tentang 
                  ma’na  NIKAH secara keseluruhan dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa nikah
                  adalah: akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ seorang suami dapat memanfa’at
                  kan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuh-
                  nya. اَلنِّكَاحُ بِأَنَّهُ عَقْدٌ يُفِيْدُ مِلْكَ الْمُتْعَةِ قَصْدًا Nikah itu adalah Akad yang memanfa’
                  atkan memiliki bersenang-senang dengan sengaja.


B.  Sikap agama Islam terhadap perkawinan.
            Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu ikatan atau akad yang sangat kokoh  yang disebut dengan Istilah MITSAQAN GHALIDHAN, disamping itu perkawinan tidak lepas dari unsur taqwa dan mentha’ati perintah Allah Swt dan menjalankan perkawinan adalah merupakan ubudiyah ( jenis dari peribadatan ) yang bertujuan membina dan membangun hubungan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam bahtera mahligai rumah tangga sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam syari’at. Karna hal itu sesuai dengan fithrah penciptaan lihat surat Arrum ayat 21 :  
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً إِنَّ فِيْ
          ذَلِكَ َلآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ                                                    ( الروم : 21 )
Dan salah satu tanda kebesaran Alla, bahwa Ia menciptakan bagimu dari dirimu sendiri istri-istrimu agar supaya engkau merasa cendrung padanya, dan menjadikan diantara kamu cinta kasih dan sayang, sesungguhnya dari yang sedemikian itu ada tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berfikir ( Arrum 21 )
         Dan lihat pula dalam firman Allah Q.S An nisa’ : 1
يَآايُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً
                                                                                                (  النسآء : 1 )
Wahai manusia bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dari satu diri lalu IA  jadikan daripadanya jodohnya, kemudian DIA kembangbiakkan  menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali ( An Nisa’ : 1 )


         Maka dengan demikian Allah tidak Ingin menjadikan manusia seperti makhluq lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki terlepas dari aturan-aturan Allah Swt, Demi menjaga martabat dan kemulyaan manusia maka Allah turunkan hukum sesuai dengan martabat kemulyaan mereka.  

C.  Hukum Nikah.
         Hukum nikah sangat bervariasi, Menurut para Mujtahid dari Imam Madzhab berbeda pendapat tentang hukum nikah .
         * Menurut Imam Assyafi’i  :
             Hukum  asal  nikah adalah mubah (boleh),  Mak a seseorang  boleh  menikah  dengan  maksud
             bersenang-senang saja, apabila ia berniat untuk menghindari diri dari berbuat yang haram
             atau untuk memperoleh keturunan maka hukum nikah itu menjadi sunnah
               Pendapat madzhab Assyafi’i ini banyak dianut oleh ulama-ulama Indonesia.
* Menurut golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah :
   hukum melangsungkan perkawinan itu adalah sunnah
* Menurut Ulama Addhahiriyyah :
   Menetapkan bahwa hukum melangsungkan  nikah itu wajib bagi seorang muslim sekali seumur
   Hidup.
         Terlepas dari pendapat para mujtahid dan Imam Madzhab diatas, maka berdasar Al-Qur’an dan Al-Hadits. Islam sangat mengajurkan agar kaum muslimin melangsungkan pernikahan / perkawinan. Maka hukum perkawinan tersebut sesuai dengan kondisi masing-masing pribadinya. Sebagaimana berikut ini.             
         Wajib bagi orang yang mampu menjalankannya dan adanya desakan sexual yang kuat dari dirinya (peningkatan libido) serta adanya rasa kekhawatiran terjebak dalam suatu perzinahan, hal ini dikarnakan memelihara dan menahan diri dari perbuatan haram ( zina ) adalah wajib hukumnya.
         Menurut Imam Alqurthubiy : Orang yang wajib menjalankannya, adalah orang yang mampu dan khawatir terjebak pada sesuatu yang haram pada dirinya, sehingga dikhawatirkan dapat merusak agamanya karna disebabkan membujang, maka solusinya adalah perkawinan.
         Dalam Hadits Nabi Saw diungkapkan :
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرَجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ( متفق عليه )
Wahai sekalian pemuda barang siapa diantara kamu mampu berjima’ ( bersetubuh ) maka berkawinlah, karna hal itu lebih dapat mengekang pandangan dan lebih mampu memelihara kemaluan ( menyalurkan hasrat kemaluan ) dan barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa ( kuat menahan ) karna hal itu baginya dapat memutus buruknya hasrat birahi. ( Muttafaq alaihi )

         Sunnah bagi orang yang keras ke-Inginan  untuk berkawin dan ia mampu, selain itu ia mampu menahan  diri dari kemungkinan berzinah, dan dengan melajang ia merasa lebih tenang ber-Ibadah, maka perlu dimaklumi bahwa kependetaan itu bukan dari ajaran Islam  sebagaimana Rasulullah Saw bersabdah :
تَزَوَّجُوْا فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأَُمَمِ وَلاَتَكُوْنُوْا كَرُهبَانِيَّةِ النَّصَارَى       ( رواه البيهقي )
Kawinlah engkau, agar nanti aku akan dapat membanggakan jumlahmu yang banyak dan janganlah kamu menjadi sebagaimana pendeta-pendeta nashrani ( Al-Baihaqi )
         Menurut Ibnu Abbas : Tak akan sempurna Ibadah seseorang sampai dia kawin
        
         Haram bagi orang  yang mempunyai keinginan tapi tak mempunyai kemampuan dan tanggung jawab memikul tanggung jawab dan kewajiban dalam rumah tangganya sehingga akan menelantarkan  dirinya serta istrinya bahkan sampai keanak turunnya.
         Menurut Imam Alqurthubiy : Bila seorang laki-laki sadar bila ia tidak mampu membelanjai istrinya, atau membayar  mahar pada Istrinya atau ia tidak mampu membayar haq-haq istrinya tidak boleh ia kawin sampai  tiba sa’atnya ia mampu berbuat itu. Demikian juga bila seorang lak-laki itu tidak memiliki kemampuan dalam bersenggama maka ia harus menjelaskan kekurangan dirinya pada calon istrinya agar sang istri itu tidak tertipu
         Makruh bagi seorang yang lemah syahwat atau terdapat kekurangan bagi dirinya atau tidak mampu memberikan  belanja atau bernafkah terhadap istrinya.
         Mubah bagi seorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan ia harus kawin atau mengharamkan  dia dari perkawinan.

D.  Al-Khithbah ( Pinangan )
         Islam telah mengatur adanya khithbah setelah seseorang benar-benar  merasa tepat dengan keputusannya yang telah dipilihnya, sehingga tidak terjadi penyesalan setelah terjadinya khithbah tsb.

         Sayyid Sabiq dalam Fiqhus sunnah mendefinisikan khithbah sebagai berikut :
طَلَبُهَا لِلزَّوَاجِ بِاْلوَسِيلَةِ الْمَعْرُوْفَةِ بَيْنَ النَّاسِ
Meminang artinya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara-cara yang sudah berlaku ditengah-tengah masyarakat.

         Wanita yang boleh dipinang ada dua syarat :
Pada sa’at dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang terjadinya perkawinan
Belum dipinang oleh orang lain secara  sah
       Dalam sebuah Hadits yang menjelaskan tentang haramnya meminang diatas pinangan orang lain
اَلْمُؤْمِنُ أَخُوْ الْمُؤْمِنِ فَلاَيَحِلُّ أََنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَزِرَ
                                                                                       رواه أحمد ومسلم
Orang mu’min adalah bersaudara, Maka tidaklah boleh menawar barang yang sedang ditawar oleh saudaranya, dan tidak boleh meminang wanita yang sedang dipinang oleh saudaranya sampai saudaranya itu membatalkan  tawaran atau pinangannya ( HR. Ahmad dan Muslim )

         Yang perlu diperhatikan oleh peminang :
         Wanita yang perlu diperhatikan oleh peminang sebagai berikut
·         Wanita yang hendak dipinang sebaiknya diteliti terlebih dahulu keluarganya, akhlaqnya dan agamanya , sebagaimana sabdah Nabi Saw :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبْيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تُنْكَحُ الْمَرْءَةُ ِلأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا
           وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَاَ فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ( رواه الجماعة إلاّ الترميذي )
Dari Abu Hurairah ra. Dan dari Nabi Saw beliau bersabda : Wanita itu dinikahi dengan empat factor, karna kebangsawanannya karena kecantikannya, karna agamanya. Maka pilihlah yang kuat akan agamanya semoga dengannya kamu berhasil ( HR. Jama’ah kecuali Attarmidzi )
·         Wanita yang hendak dipinang sebaiknya dapat memberi keturunan dan bisa memberi kasih sayang terhadap suami dan keturunannya. Sebagaimana sabda Rasul Saw :
     عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَـلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَـنِ
      التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْاالْوَدُوْدَ الْوَلُوْد فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ( رواه أحمد )
Dari Anas ra beliau berkata, Rasulullah Saw menyuruh orang yang sanggup supaya kawin, dan sangat melarang hidup membujang selamanya. Selanjutnya beliau bersabdah : Kawinilah olehmu perempuan yang mempunyai sifat kasih sayang, dan mampu memberikan keturunan  sesungguhnya aku bangga pada hari qiyamat nanti dengan melihat jumlahmu yang banyak dibandingkan dengan jumlah ummat para nabi-nabi yang lain  ( HR. Ahmad ).
·         Wanita yang hendak dipinang sebaiknya berjauhan hubungan darah, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyidina Umar Ibnul Khattab :
فَقَدْ ضَعُفْتُمْ فَانْكِحُوْا الغَرَائِبَ
Sesungguhnya kamu adalah lemah-lemah, Maka nikahlah kamu dengan orang-orang asing.

         Wanita yang tidak boleh dipinang :
         1 .   Wanita yang sedang dalam  Iddah, baik  Iddah karena  kematian  maupun  Iddah  karna cerai.
               Iddah  karna  cerai ada yang Iddah raj’i dan ada Iddah ba’in. Wanita yang masih dalam Iddah
                raj’i haram  dipinang  secara  sindiran  apalagi secara terang-terangan, sebab wanita tersebut
               statusnya masih sebagai istri dari suaminya. Sedangkan wanita yang dalam Iddah ba’in boleh              dipinang secara sindiran. Wanita yang Iddah karna ditinggal mati suaminya haram dipinang
               secara terang-terangan tetapi boleh dipinang secara sindiran.
     وَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَضْتُمْ بِهِ مِنْ خِـطْبَةِ النِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِيْ أَنْفُسِـكُمْ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُوْنَهُنَّ
    وَلَكِنْ لاَتُوَاعِدُوْهُنَّ سِرًّا إِلاَّأَنْ تَقُوْلُوْاقَوْلاًمَعْرُوْفًا وَلاَتَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوْا
       أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِيْ~أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوْهُ                                                       ( البقرة 235 )
Dan tidaklah salah bagi kamu meminang perempuan-perempuan dengan sindiran atau kamu rahasiakan didalam hati kamu sendiri. Allah mengetahui bahwa kamu sesungguhnya akan selalu mengenang mereka, tetapi janganlah kamu mengikat janji dengan mereka secara rahasia, kecuali untuk menyatakan perkataan yang baik dan janganlah kamu menginginkan mengikat tali perkawinan sebelum habis Iddah mereka, ketahuilah bahwa Allah mengetahui rahasia didalam hatimu karna itu berhati-hatilah kamu kepadanya (Albaqarah : 235).

         2  . Wanita sedang dipinang oleh orang lain.

E   Nadhar  (Melihat wanita yang hendak dipinang)
         Agar tidak terjadi penyesalan dalam bahtera rumah tangga terhadap orang yang dinikahinya maka Islam menganjurkan  terlebih dahulu sebelum keputusan meminang dilakukan  hendaklah diawali dengan NADHAR ( melihat orang yang hendak dipinangnya )
يُرْوَى أَنَّ الْمُغِيْرَةَ بْنَ شُعْبَةَ خَطَبَ اِمْرَةً لِيَتَزَوَّجَهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قَالَ لاَ
      فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا            ( النسآئ والترميذي وابن ماجه )
Diriwayatkan dari Al-Mughirah Ibnu syu’bah ia pernah meminang wanita, lalu Rasulullah Saw berkata kepadanya : Apakah kamu telah melihat wanita itu ? Jawab Al-Mughirah ‘belum’ lalu Rasulullah bersabdah : lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersamanya lebih langgeng ( Annasa’I dan Attarmidzi serta Ibnu Majah )
رَوَى جَابِرٌ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ إِمْرَأَةً فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا
     مَايَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ                                                          ( رواه أبو داود )
Shahabat Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : Jika seorang dari kamu akan meminang seorang Wanita, kalau bisa lihatlah terlebih dahulu apa yang menjadi daya tarik  untuk  mengawininya maka lakukanlah .   ( HR. Abu Dawud )
         Dari dalil tersebut diatas bukan hanya boleh  melihat calon pinangannya  namun bahkan dianjurkan dan disunnahkan agar dengan demikian prinsip perkawinan yang kekal dan bahagia dapat tercapai.
         Tempat-tempat yang boleh dilihat oleh calon peminang :
         Al-Imam Taqiuddin dalam bukunya kifayatul akhyar juz 2 hal 26-30 menyatakan ada 7 macam ketentuan hukum laki-laki melihat perempuan :
1  . Laki-laki melihat perempuan tanpa ada keperluan , maka hukumnya tidak boleh ( Annur : 30 )
2  . Laki-laki melihat Istrinya atau Ibunya hukumnya boleh kecuali kemaluannya ( Hadits )
اَلنَّظَرُ إِلَى الْفَرْجِ تُوْرِثُ الطَّمَسَ
Melihat kepada kemaluan wanita menyebabkan kebutaan

      3 . Laki-laki melihat muhrimnya atau budaknya, hukumnya boleh kecuali antara lutut dan pusat
        ( lihat  Annur : 31 )
      4 . Laki-laki melihat wanita yang akan dipinangnya hukumnya boleh dan hanya terbatas pada muka
        dan telapak tanganya.
      5 .  Laki-laki melihat wanita untuk keperluan pengobatan hukumnya boleh melihat tempat-tempat
            mana saja yang diperlukan. Simak hadits Rasulullah saw :
أُمُّ السَّلاَمَةَ اِسْتَأْذَنَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحِجَامَةِ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
              عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا طَيِّبَةَ أَنْ يَحْجَمَهَا                                         ( رواه مسلم )
Pernah Ummus Salama meminta Izin pada baginda Rasulullah Saw untuk ber
                    Bekam maka Nabi Saw  memerintahkan Aba Thayyibah untuk membekamnya
                                                                                                                        ( HR. Muslim )
       6 . Laki-laki melihat wanita untuk keperluan saksi dan transaksi boleh dan hanya terbatas pada
            muka saja  ( Pendapat Ulama )
       7. Laki-laki melihat budak yang akan dibelinya hukumnya boleh melihat tempat-tempat yang
            sangat diperlukan    ( Pendapat Ulama ).

F  Akad Nikah dan Ijab qobul :
         Dalam suatu pernikahan yang paling pokok adalah  mufakat dan saling ridlo. Maka  kemufakatan dan rasa saling ridlo harus di ikat dengan Akad nikah sebagai pembuktian adanya saling mufakat dan saling ridlo. Maka hal ini bukan suatu permainan sehingga dinamakanlah perjanjian pernikahan ini dengan MITSAQAN GHALIDHAN, sumpah janji yang kokoh yang tak boleh saling mengthianati sesudahnya.
         Sayyid Bakrie dalam bukunya I’anatut Thalibin menetapkan ada 5 rukun nikah  yakni : calon mempelai wanita, calon mempelai pria, wali nikah, dua orang saksi, dan sighat Ijab Qobul.
         Ijab dilakukan oleh wali wanita atau wakilnya..sedangkan Qobul dilakukan oleh mempelai pria atau wakilnya, adapun tentang bahasa Ijab Qobul menurut Ibnu Taimiyah boleh saja dengan bahasa setempat yang bisa difahami dan didalamnya seharusnya ada kata  Nikah dan Tazwij dalam Ijab Qobul dilakukan secara mutlaq tidak ada syarat-syarat tertentu yang bertentangan.

         Syarat-syarat Ijab Qobul :
·         Wali wanita dan calon mempelai pria harus Mumayyiz bila salah satunya ada yang belum tamyiz batallah pernikahannya. 
·         Ijab dan Qobul harus dalam satu majlis, dan antara Ijab Qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata atau perbuatan apapun. Bila antara Ijab dan Qobul ada tenggang waktu menurut urf (kebiasaan) hukum akadnya masih sah.
·         Antara singhat Ijab dan Qobul tidak berlawan seperti bila wali menyatakan mahar Rp 1000,- maka mempelai pria tidak boleh menyatakan Rp 500,- atau wanita yang akan dinikahi adalah anak si A, sedang mempelai pria menyatakan anak si B.
·         Ijab dan Qobul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masing-masing fihak wali dan saksi.

G  Saksi Nikah :
         Persaksian adalah merupakan syarat sahnya Nikah. Bila syarat-syarat ini terpenuhi maka pernikahan itu tidak diragukan kesahannya, maka dari sanalah terjadi haq dan kewajiban pernikahan.
         Syarat-syarat saksi nikah :
         Para saksi disyaratkan : haruslah dua lelaki muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar, me-
         ngerti atau faham akan maksud akad nikah.
        
         Syarat sahnya nikah ada 2 :
·         Perempuan yang akan dinikahi itu halal dinikahi oleh pria yang akan memperistrikannya, mak sudnya  wanita  yang  akan   dinikahinya  itu  adalah  yang  bukan  wanita haram dinikahi, baik haram untuk sementara ataupun haram untuk selamanya
·         Akad Nikahnya dihadiri oleh para saksi, maka menurut jumhur Ulama bila pernikahan tidak dihadiri oleh  para saksi. Maka pernikahan itu tidak sah walaupun sesudahnya diumumkan pada orang banyak, tapi sebaliknya bila para saksi hadir dan dipesan oleh fihaq yang diakadkan agar merahasiakan perkawinannya, maka pernikahannya tetap sah.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
                                                                                   ( رواه الدار قطني )
Dari Aisyah Ra. Bersabdahlah Rasulullah Saw : Tidaklah sah  suatu pernikahan kecuali
           Ada wali dan dua orang saksi yang adil.                                             ( HR. Darul Quthni )

H   Wali nikah :
         Adalah orang yang meng-akadkan nikah sehingga ia menjadi sah. Maka wali dalam suatu pernikahan adalah merupakan hukum persyaratan mutlaq yang harus dipenuhi oleh mempelai wanita yang bertindak sebagai yang menikahkannya dan memberikan Izin pernikahannya. Dan wali sangat berhaq menikahkan putrinya bahkan bila tidak mampu bisa mewakilkannya kepada orang laki-laki yang memnuhi syarat hukum agama seperti Islam baligh dan cakap. Maka dengan demikian karna begitu pentingnya Wali maka sabagian fuqaha menyebutnya sebagai RUKUN NIKAH.

         Macam-macam wali nikah :
         Wali  nasab  terdiri dari  4  kelompok urutan kedudukan kelompok yang satu didahulukan dari ke
         Lompok yang lain berdasarkan erat tidaknya kekerabatan dengan calon mempelai wanita
1        . Kelompok Pertama : adalah kerabat laki-laki garis lurus keatas, yakni : Ayah, kakek, dari fi
                  hak  Ayah dan seterusnya
2        . Kelompok Kedua :  adalah kerabat  saudara laki-laki  kandung atau saudara laki-laki seayah
dan keturunan anak laki-laki mereka.
          3    . Kelompok Ketiga :  adalah kelompok kerabat paman, yakni  saudara laki-laki kandung ayah
saudara laki-laki seayah  dan keturunan anak laki-laki mereka.
          4    . Kelompok Ke empat  :  adalah saudara  laki-laki  kandung kakek,  saudara  laki-laki  seayah   
                  kakek, keturunan anak laki-laki mereka.
         Maka kita ketahui bahwa Ayah menempati urutan pertama yang artinya bahwa Ayah adalah orang yang afdol menjadi wali selagi ia sehat akal dan jasmani, kemudian ia muslim dan mampu meng-akadkan, dan tidak ada udzur syar’i yang menghalangi dirinya sebagai peng-akad bagi putrinya.

I   Mahar yang harus dibayarkan :
         Dari keelokan pemeliharaan Islam terhadap kehormatan wanita. Maka Syari’at Islam mengharuskan bagi lelaki yang akan menikahi seorang wanita memberikan haq wanita yang berupa mahar agar siwanita dapat menjadi miliknya secara sah dan Syari’at Islam  tidak mematok seberapa besar  mahar  yang  harus  diberikan  pada  calon  mempelai  wanita.  Boleh  saja  silelaki  memberikan
Sekedar  cincin  besi,  atau  segantang  biji  kurma,  bahkan mengajar atau membacakan Al-Qur’an bila






keduanya sama rela. Sedangkan masyarakat Jahiliyah mengurangkan haq wanita bahkan justru menjatuhkan para wanita, Sehingga wali wanita tersebut melakukan daya-upaya dalam urasan harta wanita tersebut ( tak memberikan kesempatan menguasai hartanya ) dan tak mungkin menguasainya bahkan.
         Firman Allah dalam S. Annisa’ ayat  4 :
وَءَاتُوْاالنِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْاهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا  ( النسآء 4 )
Dan berikanlah maskawin ( mahar ) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah ( ambillah ) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya    ( Annisa’ : 4 )  

فَعَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَة أَنَّ اِمْرَأَةً مِنْ بَنِي بَزَارَةِ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
        أَرَضِيْتِ عَنْ نَفْسِكِ ومَالَكِ بِنَعْلَيْنِ ؟ فَقَالَتْ "نَعَمْ " فَأَجَازَهُ      ( أَحمد ، ابن ماجه ، الترمذي )
Dari Ami bin Rabi’ah bahwa datanglah seorang perempuan dari bani Bazarah ia telah kawin dengan maskawin dua terompah, maka berkatalah Nabi Saw :Apakah kamu rela atas dirimu dan hartamu hanya dengan sepasang terompah ? Maka iapun ( wanita itu ) berkata : “I YA” Maka Nabipun membolehkannya.                                                                         ( HR. Ahmad, Ibnu Majah. Attarmidzi )

فَعَنْ عَائِشَة رَضِيَ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ أَعْظَمَ النِكَّاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةً
Dari Aisyah Ra. Bahwasanya Nabi Saw bersabdah : Sesungguhnya sebesar-besarnya berkah pernikahan itu, adalah yang paling murah dan mudah maskawinnya ( maharnya ).
        
         Allah Swt mengkaruniai wanita yang paling murah maharnya, dan mudah dalam proses pernikahannya, serta elok akhlaqnya…. Dan wanita yang dihinakan adalah yang paling mahal maskawinnya ( maharnya ), sulit proses pernikahannya, serta buruk akhlaqnya


WALLAHU   A’LAM   BISSHAWAAB







                                                                                                                        Solo, 27 Agustus 2006
        





   




        
  
                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar