Oleh : Ustadz H.
Ali Bazmul
A. Pengertian.
Nikah atau Zuwaj dalam bahasa
Arab berarti kawin, kalimat nikah atau tazwij diarti-
kan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-Jarizi dalam kitab
fiqih ala Madzhabil arba’ah menyebutkan ada 3 macam ma’na nikah
1.
Ma’na Lughawi atau ma’na menurut bahasa.
وَهُوَ الْوَطْءُ
وَالضَّمُّ bersenggama atau bercampur… تَنَاكَحَتِ
اْلأَشْجَارُ إِذَا تَمَايَلَتْ وَانْضَمَّ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ Terjadinya perkawinan antara kayu-kayu
apabila kayu-kayu itu saling condong dan becampur satu dengan yang lain.
Dalam pengertian majaz orang
menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab boleh nya atau halalnya
bersenggama
2.
Ma’na Ushuli atau ma’na menurut syar’i. Para ulama berbeda
pendapat tentang
ma’na ushuli
dan ma’na syar’i ini.
A). Menyatakan bahwa NIKAH arti hakikatnya adalah WATHA’
(bersenggama)
Dalam
pengertian majaz nikah adalah akad. Sedang dalam Al-Qur’an ataupun
Al-Hadits kata NIKAH itu berarti WATHA’ ( bersenggama )
وَلاَتَنْكِحُوْا
مَانَكَحَ آبَاءُكُمْ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّمَاقَدْ سَلَفَ ( البقرة 230 )
Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang yang telah
dikawini oleh ayah-ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau. ( Annisa’ :
22 )
B). Menyatakan bahwa ma’na hakikat NIKAH adalah AKAD. Sedang
ma’na majaznya adalah WATHA’ (bersenggama), pengertian ini kebalikan dari menurut ma’na Lughawi (menurut
bahasa). Hal ini dapat kita temui dalam Al-Baqarah 230 :
حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ hingga ia kawin dengan suami
yang lain.
C). Menyatakan bahwa ma’na hakikat dari NIKAH adalah
MUSYTARAK atau gabungan dari arti AKAD dan WATHA’ sebab untuk pemakaian syara’
NIKAH kadang-kadang berarti WATHA’.
3. Ma’na Fiqhi
menurut ahli fiqih. Para ahli fiqih
juga berbeda pendapat
tentang
ma’na NIKAH secara keseluruhan
dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa nikah
adalah: akad nikah yang
ditetapkan oleh syara’ seorang suami dapat memanfa’at
kan
dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuh-
nya. اَلنِّكَاحُ
بِأَنَّهُ عَقْدٌ يُفِيْدُ مِلْكَ الْمُتْعَةِ قَصْدًا
Nikah itu adalah Akad yang
memanfa’
atkan memiliki
bersenang-senang dengan sengaja.
B. Sikap agama Islam terhadap perkawinan.
Perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu ikatan atau akad yang sangat kokoh yang disebut dengan Istilah MITSAQAN
GHALIDHAN, disamping itu perkawinan tidak lepas dari unsur taqwa dan
mentha’ati perintah Allah Swt dan menjalankan perkawinan adalah merupakan ubudiyah
( jenis dari peribadatan ) yang bertujuan membina dan membangun hubungan lahir
bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam bahtera mahligai
rumah tangga sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam syari’at. Karna hal itu
sesuai dengan fithrah penciptaan lihat surat
Arrum ayat 21 :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ
مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً إِنَّ فِيْ
ذَلِكَ
َلآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
( الروم : 21 )
Dan
salah satu tanda kebesaran Alla, bahwa Ia menciptakan bagimu dari dirimu
sendiri istri-istrimu agar supaya engkau merasa cendrung padanya, dan
menjadikan diantara kamu cinta kasih dan sayang, sesungguhnya dari yang
sedemikian itu ada tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berfikir (
Arrum 21 )
Dan lihat pula dalam firman Allah Q.S
An nisa’ : 1
يَآايُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا
رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً
( النسآء : 1 )
Wahai
manusia bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu
dari satu diri lalu IA jadikan daripadanya
jodohnya, kemudian DIA kembangbiakkan menjadi
laki-laki dan perempuan yang banyak sekali ( An Nisa’ : 1 )
Maka dengan demikian Allah tidak Ingin
menjadikan manusia seperti makhluq lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya
dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki terlepas dari
aturan-aturan Allah Swt, Demi menjaga martabat dan kemulyaan manusia maka Allah
turunkan hukum sesuai dengan martabat kemulyaan mereka.
C. Hukum Nikah.
Hukum nikah sangat bervariasi, Menurut
para Mujtahid dari Imam Madzhab berbeda pendapat tentang hukum nikah .
* Menurut Imam Assyafi’i :
Hukum asal nikah adalah mubah (boleh), Mak a seseorang boleh menikah
dengan maksud
bersenang-senang saja, apabila ia
berniat untuk menghindari diri dari berbuat yang haram
atau untuk memperoleh keturunan maka
hukum nikah itu menjadi sunnah
Pendapat madzhab Assyafi’i ini banyak dianut
oleh ulama-ulama Indonesia.
* Menurut golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah :
hukum melangsungkan perkawinan itu adalah
sunnah
* Menurut Ulama Addhahiriyyah :
Menetapkan
bahwa hukum melangsungkan nikah itu wajib
bagi seorang muslim sekali seumur
Hidup.
Terlepas
dari pendapat para mujtahid dan Imam Madzhab diatas, maka berdasar Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Islam sangat mengajurkan agar kaum muslimin melangsungkan
pernikahan / perkawinan. Maka hukum perkawinan tersebut sesuai dengan kondisi
masing-masing pribadinya. Sebagaimana berikut ini.
Wajib bagi orang yang mampu menjalankannya dan
adanya desakan sexual yang kuat dari dirinya (peningkatan libido) serta adanya
rasa kekhawatiran terjebak dalam suatu perzinahan, hal ini dikarnakan memelihara
dan menahan diri dari perbuatan haram ( zina ) adalah wajib hukumnya.
Menurut Imam Alqurthubiy : Orang yang wajib
menjalankannya, adalah orang yang mampu dan khawatir terjebak pada sesuatu yang
haram pada dirinya, sehingga dikhawatirkan dapat merusak agamanya karna
disebabkan membujang, maka solusinya adalah perkawinan.
Dalam Hadits Nabi Saw diungkapkan :
يَامَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرَجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ( متفق عليه )
Wahai
sekalian pemuda barang siapa diantara kamu mampu berjima’ ( bersetubuh ) maka
berkawinlah, karna hal itu lebih dapat mengekang pandangan dan lebih mampu
memelihara kemaluan ( menyalurkan hasrat kemaluan ) dan barang siapa yang belum
mampu hendaklah ia berpuasa ( kuat menahan ) karna hal itu baginya dapat
memutus buruknya hasrat birahi. ( Muttafaq alaihi )
Sunnah bagi orang yang
keras ke-Inginan untuk berkawin dan ia
mampu, selain itu ia mampu menahan diri
dari kemungkinan berzinah, dan dengan melajang ia merasa lebih tenang
ber-Ibadah, maka perlu dimaklumi bahwa kependetaan itu bukan dari ajaran
Islam sebagaimana Rasulullah Saw
bersabdah :
تَزَوَّجُوْا فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ
بِكُمُ اْلأَُمَمِ وَلاَتَكُوْنُوْا كَرُهبَانِيَّةِ النَّصَارَى (
رواه البيهقي )
Kawinlah engkau, agar nanti
aku akan dapat membanggakan jumlahmu yang banyak dan janganlah kamu menjadi
sebagaimana pendeta-pendeta nashrani ( Al-Baihaqi )
Menurut Ibnu
Abbas : Tak akan sempurna Ibadah
seseorang sampai dia kawin
Haram bagi orang yang mempunyai keinginan tapi tak mempunyai
kemampuan dan tanggung jawab memikul tanggung jawab dan kewajiban dalam rumah
tangganya sehingga akan menelantarkan
dirinya serta istrinya bahkan sampai keanak turunnya.
Menurut Imam Alqurthubiy : Bila seorang laki-laki
sadar bila ia tidak mampu membelanjai istrinya, atau membayar mahar pada Istrinya atau ia tidak mampu
membayar haq-haq istrinya tidak boleh ia kawin sampai tiba sa’atnya ia mampu berbuat itu. Demikian
juga bila seorang lak-laki itu tidak memiliki kemampuan dalam bersenggama maka
ia harus menjelaskan kekurangan dirinya pada calon istrinya agar sang istri itu
tidak tertipu
Makruh bagi seorang yang lemah syahwat atau
terdapat kekurangan bagi dirinya atau tidak mampu memberikan belanja atau bernafkah terhadap istrinya.
Mubah bagi seorang yang tidak terdesak oleh
alasan-alasan yang mewajibkan ia harus kawin atau mengharamkan dia dari perkawinan.
D. Al-Khithbah ( Pinangan )
Islam telah mengatur adanya khithbah setelah seseorang
benar-benar merasa tepat dengan
keputusannya yang telah dipilihnya, sehingga tidak terjadi penyesalan setelah
terjadinya khithbah tsb.
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus sunnah mendefinisikan khithbah
sebagai berikut :
طَلَبُهَا لِلزَّوَاجِ بِاْلوَسِيلَةِ
الْمَعْرُوْفَةِ بَيْنَ النَّاسِ
Meminang
artinya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
istrinya dengan cara-cara yang sudah berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Wanita yang boleh dipinang ada dua
syarat :
Pada sa’at dipinang tidak ada
halangan-halangan hukum yang melarang terjadinya perkawinan
Belum dipinang oleh orang
lain secara sah
Dalam sebuah Hadits yang menjelaskan
tentang haramnya meminang diatas pinangan orang lain
اَلْمُؤْمِنُ أَخُوْ الْمُؤْمِنِ
فَلاَيَحِلُّ أََنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَزِرَ
رواه أحمد ومسلم
Orang
mu’min adalah bersaudara, Maka tidaklah boleh menawar barang yang sedang
ditawar oleh saudaranya, dan tidak boleh meminang wanita yang sedang dipinang
oleh saudaranya sampai saudaranya itu membatalkan tawaran atau pinangannya ( HR. Ahmad dan
Muslim )
Yang perlu diperhatikan oleh peminang
:
Wanita yang perlu diperhatikan oleh
peminang sebagai berikut
·
Wanita yang hendak dipinang
sebaiknya diteliti terlebih dahulu keluarganya, akhlaqnya dan agamanya ,
sebagaimana sabdah Nabi Saw :
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبْيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: تُنْكَحُ الْمَرْءَةُ ِلأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا
وَلِدِيْنِهَاَ فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ( رواه الجماعة إلاّ
الترميذي )
Dari Abu Hurairah ra. Dan
dari Nabi Saw beliau bersabda : Wanita itu dinikahi dengan empat factor, karna
kebangsawanannya karena kecantikannya, karna agamanya. Maka pilihlah yang kuat
akan agamanya semoga dengannya kamu berhasil ( HR. Jama’ah kecuali Attarmidzi )
·
Wanita yang hendak dipinang sebaiknya
dapat memberi keturunan dan bisa memberi kasih sayang terhadap suami dan
keturunannya. Sebagaimana sabda Rasul Saw :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَـلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ
وَيَنْهَى عَـنِ
التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْاالْوَدُوْدَ الْوَلُوْد
فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ( رواه أحمد )
Dari
Anas ra beliau berkata, Rasulullah Saw menyuruh orang yang sanggup supaya
kawin, dan sangat melarang hidup membujang selamanya. Selanjutnya beliau
bersabdah : Kawinilah olehmu perempuan yang mempunyai sifat kasih sayang, dan
mampu memberikan keturunan sesungguhnya
aku bangga pada hari qiyamat nanti dengan melihat jumlahmu yang banyak
dibandingkan dengan jumlah ummat para nabi-nabi yang lain ( HR. Ahmad ).
·
Wanita yang hendak dipinang sebaiknya
berjauhan hubungan darah, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyidina Umar Ibnul
Khattab :
فَقَدْ ضَعُفْتُمْ فَانْكِحُوْا
الغَرَائِبَ
Sesungguhnya
kamu adalah lemah-lemah, Maka nikahlah kamu dengan orang-orang asing.
Wanita yang tidak boleh dipinang :
1 . Wanita yang sedang dalam Iddah, baik Iddah karena kematian maupun Iddah
karna cerai.
Iddah karna cerai ada yang Iddah raj’i dan ada Iddah ba’in.
Wanita yang masih dalam Iddah
raj’i haram dipinang secara sindiran
apalagi secara terang-terangan, sebab
wanita tersebut
statusnya masih sebagai istri dari suaminya. Sedangkan wanita yang dalam
Iddah ba’in boleh dipinang secara sindiran. Wanita yang
Iddah karna ditinggal mati suaminya haram dipinang
secara terang-terangan tetapi boleh dipinang secara sindiran.
وَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَضْتُمْ
بِهِ مِنْ خِـطْبَةِ النِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِيْ أَنْفُسِـكُمْ عَلِمَ
اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُوْنَهُنَّ
وَلَكِنْ لاَتُوَاعِدُوْهُنَّ سِرًّا إِلاَّأَنْ
تَقُوْلُوْاقَوْلاًمَعْرُوْفًا وَلاَتَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ
الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوْا
أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ
مَافِيْ~أَنْفُسِكُمْ
فَاحْذَرُوْهُ
( البقرة 235 )
Dan
tidaklah salah bagi kamu meminang perempuan-perempuan dengan sindiran atau kamu
rahasiakan didalam hati kamu sendiri. Allah mengetahui bahwa kamu sesungguhnya akan
selalu mengenang mereka, tetapi janganlah kamu mengikat janji dengan mereka secara
rahasia, kecuali untuk menyatakan perkataan yang baik dan janganlah kamu
menginginkan mengikat tali perkawinan sebelum habis Iddah mereka, ketahuilah
bahwa Allah mengetahui rahasia didalam hatimu karna itu berhati-hatilah kamu
kepadanya (Albaqarah : 235).
2 . Wanita sedang dipinang oleh orang lain.
E
Nadhar (Melihat wanita yang hendak dipinang)
Agar
tidak terjadi penyesalan dalam bahtera rumah tangga terhadap orang yang
dinikahinya maka Islam menganjurkan terlebih dahulu sebelum keputusan meminang
dilakukan hendaklah diawali dengan
NADHAR ( melihat orang yang hendak dipinangnya )
يُرْوَى أَنَّ الْمُغِيْرَةَ بْنَ
شُعْبَةَ خَطَبَ اِمْرَةً لِيَتَزَوَّجَهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قَالَ لاَ
فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أُنْظُرْ
إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا (
النسآئ والترميذي وابن ماجه )
Diriwayatkan
dari Al-Mughirah Ibnu syu’bah ia pernah meminang wanita, lalu Rasulullah Saw
berkata kepadanya : Apakah kamu telah melihat wanita itu ? Jawab Al-Mughirah ‘belum’
lalu Rasulullah bersabdah : lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu
bisa hidup bersamanya lebih langgeng ( Annasa’I dan Attarmidzi serta Ibnu Majah
)
رَوَى جَابِرٌ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ إِمْرَأَةً فَإِنِ
اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا
مَايَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
(
رواه أبو داود )
Shahabat
Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : Jika seorang dari kamu akan
meminang seorang Wanita, kalau bisa lihatlah terlebih dahulu apa yang menjadi
daya tarik untuk mengawininya maka lakukanlah . ( HR. Abu Dawud )
Dari dalil tersebut diatas bukan hanya
boleh melihat calon pinangannya namun bahkan dianjurkan dan disunnahkan agar
dengan demikian prinsip perkawinan yang kekal dan bahagia dapat tercapai.
Tempat-tempat yang boleh dilihat oleh
calon peminang :
Al-Imam Taqiuddin dalam bukunya
kifayatul akhyar juz 2 hal 26-30 menyatakan ada 7 macam ketentuan hukum
laki-laki melihat perempuan :
1 .
Laki-laki melihat perempuan tanpa ada keperluan , maka hukumnya tidak boleh (
Annur : 30 )
2 .
Laki-laki melihat Istrinya atau Ibunya hukumnya boleh kecuali kemaluannya (
Hadits )
اَلنَّظَرُ إِلَى الْفَرْجِ تُوْرِثُ الطَّمَسَ
Melihat
kepada kemaluan wanita menyebabkan kebutaan
3 . Laki-laki melihat muhrimnya atau
budaknya, hukumnya boleh kecuali antara lutut dan pusat
( lihat
Annur : 31 )
4 . Laki-laki melihat wanita yang akan
dipinangnya hukumnya boleh dan hanya terbatas pada muka
dan telapak tanganya.
5 . Laki-laki melihat wanita untuk keperluan
pengobatan hukumnya boleh melihat tempat-tempat
mana saja yang diperlukan. Simak
hadits Rasulullah saw :
أُمُّ السَّلاَمَةَ اِسْتَأْذَنَتْ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحِجَامَةِ فَأَمَرَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا
طَيِّبَةَ أَنْ يَحْجَمَهَا ( رواه
مسلم )
Pernah Ummus Salama meminta
Izin pada baginda Rasulullah Saw untuk ber
Bekam maka Nabi Saw memerintahkan Aba Thayyibah untuk membekamnya
( HR. Muslim )
6 . Laki-laki melihat wanita untuk
keperluan saksi dan transaksi boleh dan hanya terbatas pada
muka saja ( Pendapat Ulama )
7. Laki-laki
melihat budak yang akan dibelinya hukumnya boleh melihat tempat-tempat yang
sangat diperlukan ( Pendapat Ulama ).
F Akad Nikah dan Ijab qobul :
Dalam suatu pernikahan yang paling pokok adalah mufakat dan saling ridlo. Maka kemufakatan dan rasa saling ridlo harus di
ikat dengan Akad nikah sebagai pembuktian adanya saling mufakat dan
saling ridlo. Maka hal ini bukan suatu permainan sehingga dinamakanlah
perjanjian pernikahan ini dengan MITSAQAN GHALIDHAN, sumpah janji yang kokoh
yang tak boleh saling mengthianati sesudahnya.
Sayyid Bakrie dalam bukunya I’anatut Thalibin menetapkan
ada 5 rukun nikah yakni : calon
mempelai wanita, calon mempelai pria, wali nikah, dua
orang saksi, dan sighat Ijab Qobul.
Ijab dilakukan
oleh wali wanita atau wakilnya..sedangkan Qobul dilakukan
oleh mempelai pria atau wakilnya, adapun tentang bahasa Ijab Qobul menurut Ibnu
Taimiyah boleh saja dengan bahasa setempat yang bisa difahami dan didalamnya
seharusnya ada kata Nikah dan Tazwij
dalam Ijab Qobul dilakukan secara mutlaq tidak ada syarat-syarat tertentu
yang bertentangan.
Syarat-syarat Ijab Qobul :
·
Wali wanita dan calon
mempelai pria harus Mumayyiz bila salah satunya ada yang belum tamyiz batallah
pernikahannya.
·
Ijab dan Qobul harus dalam
satu majlis, dan antara Ijab Qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata atau
perbuatan apapun. Bila antara Ijab dan Qobul ada tenggang waktu menurut urf
(kebiasaan) hukum akadnya masih sah.
·
Antara singhat Ijab dan Qobul
tidak berlawan seperti bila wali menyatakan mahar Rp 1000,- maka mempelai pria
tidak boleh menyatakan Rp 500,- atau wanita yang akan dinikahi adalah anak si
A, sedang mempelai pria menyatakan anak si B.
·
Ijab dan Qobul harus
dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masing-masing fihak wali dan saksi.
G Saksi Nikah :
Persaksian adalah merupakan syarat sahnya
Nikah. Bila syarat-syarat ini terpenuhi maka pernikahan itu tidak diragukan
kesahannya, maka dari sanalah terjadi haq dan kewajiban pernikahan.
Syarat-syarat saksi nikah :
Para
saksi disyaratkan : haruslah dua lelaki muslim, baligh, berakal,
melihat dan mendengar, me-
ngerti atau faham akan maksud akad
nikah.
Syarat sahnya nikah ada 2 :
·
Perempuan yang akan dinikahi
itu halal dinikahi oleh pria yang akan memperistrikannya, mak sudnya wanita yang akan dinikahinya
itu adalah yang
bukan wanita haram dinikahi, baik haram untuk
sementara ataupun haram untuk selamanya
·
Akad Nikahnya dihadiri oleh
para saksi, maka menurut jumhur Ulama bila pernikahan tidak dihadiri oleh para saksi. Maka pernikahan itu tidak sah
walaupun sesudahnya diumumkan pada orang banyak, tapi sebaliknya bila para
saksi hadir dan dipesan oleh fihaq yang diakadkan agar merahasiakan
perkawinannya, maka pernikahannya tetap sah.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا .
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَنِكَاحَ إِلاَّ
بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
(
رواه الدار قطني )
Dari Aisyah
Ra. Bersabdahlah Rasulullah Saw : Tidaklah sah
suatu pernikahan kecuali
Ada wali dan dua orang saksi yang adil. (
HR. Darul Quthni )
H Wali nikah :
Adalah orang yang meng-akadkan nikah
sehingga ia menjadi sah. Maka wali dalam suatu pernikahan adalah merupakan
hukum persyaratan mutlaq yang harus dipenuhi oleh mempelai wanita yang bertindak
sebagai yang menikahkannya dan memberikan Izin pernikahannya. Dan wali sangat
berhaq menikahkan putrinya bahkan bila tidak mampu bisa mewakilkannya kepada
orang laki-laki yang memnuhi syarat hukum agama seperti Islam baligh dan cakap.
Maka dengan demikian karna begitu pentingnya Wali maka sabagian fuqaha
menyebutnya sebagai RUKUN NIKAH.
Macam-macam wali nikah :
Wali nasab terdiri
dari 4 kelompok urutan kedudukan kelompok yang satu
didahulukan dari ke
Lompok yang lain berdasarkan erat
tidaknya kekerabatan dengan calon mempelai wanita
1
. Kelompok Pertama : adalah
kerabat laki-laki garis lurus keatas, yakni : Ayah, kakek, dari fi
hak Ayah dan seterusnya
2
. Kelompok Kedua : adalah kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah
dan keturunan anak laki-laki
mereka.
3
. Kelompok Ketiga : adalah
kelompok kerabat paman, yakni saudara
laki-laki kandung ayah
saudara laki-laki seayah dan keturunan anak laki-laki mereka.
4
. Kelompok Ke empat : adalah saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
kakek, keturunan anak
laki-laki mereka.
Maka kita ketahui bahwa Ayah menempati
urutan pertama yang artinya bahwa Ayah adalah orang yang afdol menjadi wali selagi
ia sehat akal dan jasmani, kemudian ia muslim dan mampu meng-akadkan, dan tidak
ada udzur syar’i yang menghalangi dirinya sebagai peng-akad bagi putrinya.
I Mahar yang harus dibayarkan :
Dari keelokan pemeliharaan Islam
terhadap kehormatan wanita. Maka Syari’at Islam mengharuskan bagi lelaki yang
akan menikahi seorang wanita memberikan haq wanita yang berupa mahar agar
siwanita dapat menjadi miliknya secara sah dan Syari’at Islam tidak mematok seberapa besar mahar yang harus diberikan pada calon
mempelai wanita. Boleh saja silelaki memberikan
Sekedar
cincin besi, atau segantang
biji kurma, bahkan mengajar atau membacakan Al-Qur’an bila
keduanya
sama rela. Sedangkan masyarakat Jahiliyah mengurangkan haq wanita bahkan justru
menjatuhkan para wanita, Sehingga wali wanita tersebut melakukan daya-upaya
dalam urasan harta wanita tersebut ( tak memberikan kesempatan menguasai
hartanya ) dan tak mungkin menguasainya bahkan.
Firman Allah dalam S. Annisa’ ayat 4 :
وَءَاتُوْاالنِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْاهُ هَنِيْئًا
مَرِيْئًا ( النسآء 4 )
Dan
berikanlah maskawin ( mahar ) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah ( ambillah ) pemberian itu
sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya ( Annisa’ : 4 )
فَعَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَة أَنَّ
اِمْرَأَةً مِنْ بَنِي بَزَارَةِ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
أَرَضِيْتِ عَنْ نَفْسِكِ ومَالَكِ
بِنَعْلَيْنِ ؟ فَقَالَتْ "نَعَمْ " فَأَجَازَهُ (
أَحمد ، ابن ماجه ، الترمذي )
Dari
Ami bin Rabi’ah bahwa datanglah seorang perempuan dari bani Bazarah ia telah
kawin dengan maskawin dua terompah, maka berkatalah Nabi Saw :Apakah kamu rela
atas dirimu dan hartamu hanya dengan sepasang terompah ? Maka iapun ( wanita
itu ) berkata : “I YA” Maka Nabipun membolehkannya. ( HR. Ahmad, Ibnu Majah. Attarmidzi )
فَعَنْ عَائِشَة رَضِيَ عَنْهَا أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ أَعْظَمَ النِكَّاحِ
بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةً
Dari
Aisyah Ra. Bahwasanya Nabi Saw bersabdah : Sesungguhnya sebesar-besarnya berkah
pernikahan itu, adalah yang paling murah dan mudah maskawinnya ( maharnya ).
Allah Swt mengkaruniai wanita yang
paling murah maharnya, dan mudah dalam proses pernikahannya, serta elok
akhlaqnya…. Dan wanita yang dihinakan adalah yang paling mahal maskawinnya (
maharnya ), sulit proses pernikahannya, serta buruk akhlaqnya
WALLAHU A’LAM
BISSHAWAAB
Solo, 27 Agustus 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar